Kamis, 25 Desember 2014

Waspada BMT Berkedok Investasi Abal-abal Menipu Nasabahnya

SeputarEkonomi. Siapa yang tak ingin mendapatkan keuntungan besar dari usaha yang dijalankan? Tentu setiap orang menginginkannya bukan? Tak hanya kalangan perlente, kalangan masyarakat yang hidup sederhana pun menginginkan kehidupan yang semakin meningkat taraf ekonominya. 

Dengan bermacam-macam impian yang ingin diraih, di antara pemilik modal tersebut ingin mendapatkan untung ketika uangnya diinvestasikan. Alih-alih mendapatkan keuntungan yang besar, ternyata uang yang ditabung dan diinvestasikan sedikit demi sedikit mesti musnah, kandas dibawa kabur si pemilik usaha.

Seperti yang dikutip dari lampung post edisi 22 Desember 2014. Sejumlah nasabah BMT Bima Sakti Mandiri menelan kekecewaan lantaran uang yang diinvestasikan musnah dibawa kabur pengelolanya. Tak ayal, akumulasi uang sedianya sebesar 335 juta lebih dibawa oleh manajer dan pimpinan BMT tersebut.

Pada awalnya BMT Bima Sakti Mandiri tidak menunjukkan gelagat mencurigakan. Karena sejak berdirinya cukup membuat masyarakat setempat percaya. Tentu saja karena nama lembaga keuangan tersebut berjuluk BMT (Baitul Maal Wa  Tamwil) Lembaga keuangan syariah, yang notabene dikelola berdasarkan syariah Islam. BMT yang didirikan di daerah Palas Lampung Selatan ini mampu menjaring nasabah yang cukup banyak. Bahkan dari sumber yang sama anggotanya tidak hanya berasal dari Palas semata, akan tetapi berasal beberapa daerah di sekitarnya.

Tapi lagi-lagi, sebuah lembaga dengan kedok apapun tidak akan menjamin keamanan nasabah. Apalagi jika jenis usaha dan bagi hasilnya tidak masuk di akal. Semua menjanjikan keuntungan yang besar tapi justru menjerumuskan nasabahnya lantaran tidak sesuai dengan aturan pengelolaan keuangan yang berlaku menurt aturan BMT.

Adapun siasat agar tidak tertipu investasi bodong silahkan buka link ini.


Sabtu, 08 November 2014

Hari Pangan Sedunia, Momentum Membangun Kedaulatan Pangan Indonesia



Beberapa pekan yang lalu, bertepatan 16 Oktober dirayakannya hari pangan sedunia. Di mana pada saat itu didirikannya organisasi pangan dan pertanian, Food and Agriculture Organization ( FAO) dan pada saat itulah dunia merayakan momentum keberhasilannya menciptakan sumber pangan bagi umat manusia. Tapi, perayaan tersebut ternyata tidak melulu dinikmati oleh semua orang.

Alasannya pokok adalah karena saat inipun masih ada saja bangsa-bangsa yang dilanda kelaparan, bahkan berada pada garis kemiskinan yang luar biasa. Seperti di negara bagian Afrika Selatan, yang setiap harinya kesulitan mencari sumber makanan. Tak terkecuali negara Indonesia yang “katanya” tanah kita tanah surga di mana semua orang bisa bercocok tanam ternyata tidak sedikit yang mengalami busung lapar.

Tidak sedikit warga negara ini yang tinggal dalam gubuk yang reot, tak layak dan menikmati makanan sehari-hari dari hasil hutan yang tentu saja jauh dari kata lezat seperti apa yang dialami sebagian masyarakat Papua. Adapula yang musti berebut ketika pembagian daging kurban lantaran tidak biasa menikmati makanan yang mahal. Tapi itulah bangsaku, meski sudah 68 tahun merdeka ternyata rakyatnya masih saja belum merdeka, mereka harus tetap berjuang, berperang dari laparnya perut dan hausnya tenggorokan karena sulitnya mencari bahan makanan dan sumber air yang bersih.

Jika menelaah begitu banyaknya sumber pangan di Indonesia, Indonesia memiliki sumber daya alam yang sepertinya tidak terbatas karena dapat menghasilkan bahan makanan, tidak hanya buminya yang subur akan tetapi sumber daya manusianya yang dapat menghasilkan menu masakan yang diakui tingkat dunia. Sebut saja sate, baso, nasi goreng yang telah merajai lidah-lidah para pelancong bahkan masyarakat mancanegara. Hal ini sebenarnya sebagai basis yang memungkinkan Indonesia dapat memenuhi kebutuhan bahan pangan dari yang bertaraf tradisional sampai yang berkelas internasional.

Tapi apalah daya, meski Indonesia tanahnya luas dan subur, di dalamnya dipenuhi tanaman-tanaman yang bermanfaat untuk semua orang namun ternyata di dalamnya masih banyak masyarakat kita yang merasakan kelaparan, sulitnya menikmati gurihnya nasi beras, lezatnya daging, manisnya buah-buahan dan segarnya susu yang seharusnya dapat dihasilkan dari tanah sendiri. Akan tetapi justru kita hanya bisa menikmati hasil negara lain tanpa bisa menanam, kita hanya bisa membeli tanpa bisa memproduksi. Imbasnya meskipun negara ini dijuluki loh jinawi ternyata tidak berlaku bagi penduduk negeri ini.

Bahan pangan kita peroleh dari import, termasuk hampir semua jenis buah-buahan, sayuran, bahkan beraspun yang dahulunya kita dapat berswasembada saat ini tinggal gigit jari karena sebagian tanah pertaniannya sudah menjadi gedung-gedung bertingkat, berganti mall yang ternyata hanya sekelompok orang saja yang dapat menikmatinya lantaran mahalnya harga-harga pembelian.

Meskipun kita dapat menghasilkan sawit sebagai bahan baku minyak makan, ternyata kitapun menikmati yang kelas dua selebihnya dijual ke negara lain. Laut kita menghasilkan ikan yang berkualitas tapi sebagian besar dijual ke luar negeri sedangkan kita hanya menikmati ikan asin. Sebut saja ikan tuna dengan gizi yang tinggi saat ini menjadi bahan makanan bagi kalangan elit.

Sungguh ironi di negara yang sumber pangannya merupakan separuh dari sumber pangan dunia malah sekarang harus kehilangan mata pencahariannya dan  penghasilannya lantaran tidak mampu menghasilkan bahan makanan dengan kualitas terbaik tapi justru mengandalkan produk import yang terkadang berkualitas rendah tapi mahal harganya.

Memperingati hari pangan sedunia, hakekatnya sebagai momentum agar bangsa Indonesia dapat menciptakan sumber pangan, paling tidak menjadi pemasok bahan pangan bagi warganya tanpa bergantung dari bangsa lain. Pada hari ini pula, sebagai langkah untuk menciptakan kreasi baru makanan rakyat berkelas dunia.

Hari pangan sedunia hakekatnya membangun kesadaran bangsa ini agar bangun dari mimpi dan beranjak dari tidurnya untuk kembali berbuat terhadap ketersediaan pangan nasional agar tidak ada lagi bagian bangsa ini yang kelaparan dan terkena busung lapar akibat kekurangan gizi dan bahan  makanan yang sehat.

Hari Pangan Sedunia (16 Oktober)

Rabu, 25 Juni 2014

Apa Program Capres-cawapres 2014 Terkait Tingginya Pengangguran di Indonesia?

14035863941326102360
Ilustrasi : Pencari Kerja




Kebutuhan lapangan pekerjaan masih menjadi persoalan yang terus saja menghantui bangsa Indonesia. Karena melihat tingginya jumlah lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang sampai saat ini jumlahnya mencapai jutaan orang. Jika berdasarkan catatan Bank Dunia, tahun 2020 Indonesia membutuhkan lapangan kerja baru bagi sekitaran 15 Juta orang. Tempo.co

Bahkan menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO) jumlah pengangguran berusia 15-24 tahun 2012 mencapai 75 juta orang. Sedangkan di tahun 2013 ini saja pengangguran yang berusia 19-29 tahun mencapai 4,9 juta orang dari total 7,4 juta penganggur. Kompas.com

Melengkapi data tersebut, BPS Pusat merilis jumlah perkiraan pengangguran sekitar 7,15% penduduk usia 15 tahun ke atas. Sudah dapat dipastikan bahwa usia-usia tersebut adalah usia sekolah. Sehingga dapat dimungkinkan jika jumlah penganggur saat di tahun 2014 saja sebesar 7,15%, menunjukkan bahwa kebutuhan akan tenaga kerja masih cukup tinggi. Meskipun BPS merilis telah terjadi penurunan yang cukup signifikan jika dilihat tahun 2013 sebesar 7,41%

Data tersebut merupakan data perkiraan yang boleh jadi justru jumlah tersebut lebih banyak di sebabkan karena tingkat kesalahan pendataan pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi. Bahkan jika pendataan tersebut mendekati benar, asumsinya di antara para pekerja yang berpenghasilan memadai masih jauh dari rata-rata kebutuhan hidup domestik.

Apalagi menurut BPS sendiri data pekerja yang ada di Indonesia justru didominasi oleh pekerja-pekerja dengan pendidikan usia SD sebesar 55,31% sangat jauh sekali jika melihat tenaga kerja pendidikan tinggi yang hanya sekitar 8,85% jika dihitung dari keseluruhan penduduk usia  15 tahun ke atas yang saat ini sudah bekerja. Yang lebih miris lagi ternyata jumlah pengangguran terbuka justru didominasi penduduk lulusan perguruan tinggi (universitas) sebesar 4,31 % lebih tinggi jika dibandingkan jumlah pengangguran terbuka lulusan SD yang hanya sekitar 3,69%.

Hal tersebut dibuktikan, meskipun pemerintah menganggap jumlah pengangguran mengalami penurunan sebesar 5,7% (detik.finance) akan tetapi untuk jumlah pendapatan perkapita nasional masih sangat rendah. Secara kasat mata saja dapat dibuktikan, saat ini saja aturan upah pekerja (UMP) kurang lebih sebesar Rp 2,441,300 untuk wilayah DKI Jakarta sedangkan untuk Yogyakarta kisaran Rp,910.000. Sumber

Sehingga jika diambil rata-rata upah minimum propinsi seluruh Indonesia hanya sekitar  Rp 1.675.650 Sedangkan tidak semua perusahaan mengikuti aturan pemerintah terkait tingginya upah yang harus dibayarkan kepada pekerja.

Kondisi tersebut, memberikan indikasi bahwa meskipun tingkat pengangguran menurun, tapi pendapatan ekonomi yang layak masih jauh dari kebutuhan pokok masyarakat. Selain itu melihat asumsi tingginya kebutuhan lapangan kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja yang meningkat tajam di tahun 2020 sebesar 15 juta orang maka mau tidak mau pemerintah harus berusaha membuka lapangan kerja baru agar para tenaga kerja baru tersebut dapat terserap dalam dunia kerja.

Namun, apakah pemerintah mampu memenuhi kebutuhan lapangan kerja, jika ternyata tingkat pendidikan sendiri masih jauh dari kebutuhan pasar, terutama pada sektor-sektor pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan yang diikuti. Melihat perusahaan-perusahaan saat ini menuntut para pekerjanya adalah pekerja-pekerja yang tangguh dengan profesionalisme yang tinggi. Dengan kata lain, semakin banyak lulusan SMK ataupun PT akan berbanding lurus terhadap kesiapan memasuki dunia kerja apabila para lulusan tersebut benar-benar siap kerja.

Apalagi saat ini yang mestinya digerakkan adalah lapangan kerja kreatif yang mampu mengangkat kemandirian rakyat. Karena teramat sulit (walaupun bukan tidak mungkin) menampung keseluruhan pengangguran terbuka yang justru pengangguran dengan pendidikan yang masih rendah, sebagaimana paparan di atas.

Bagaimana Visi Capres-cawapres untuk menyelesaikan persoalan pengangguran?

Melihat beberapa kali sesi debat yang dilakukan masing-masing cawapres, memang belum secara spesifik memaparkan program yang benar-benar menyentuh persoalan pengangguran dan membengkaknya jumlah pengangguran jika melihat jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini.
Apalagi paparan yang cukup bisa ditangkap memang masing-masing capres menghendaki rakyatnya sejahtera. Baik dengan menciptakan lapangan pekerjaan atau justru menciptakan pekerja-pekerja kreatif yang sedikit banyak mengurangi beban negara dalam memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan.

Persoalannya adalah seberapa besarkah kemampuan pemerintah menarik inverstor dan pengusaha manufaktur untuk mendirikan perusahaannya di Indonesia? Apalagi jika melihat profesionalisme tenaga kerja di Indonesia masih jauh dari negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Singapura maupun Thailand. Wajar saat ini perusahaan-perusahaan manufaktur banyak yang melakukan produksinya di negara-negara  tersebut. Tentu saja semua berdasarkan tingginya angka tenaga kerja profesional yang layak pakai dan upah kerja yang tergolong murah. Sebagaimana China yang menjadi pusat perusahaan-perusahaan manufaktur baik dari Korea, Jepang maupun Amerika. Khususnya perusahaan perakitan telepon genggam dan kendaraan pribadi maupun pembuatan suku cadangnya.

Sehingga sepatutnya capres-cawapres dalam debat tersebut lebih memproyeksikan pembukaan lapangan kerja baru yang harus menampung jumlah tenaga kerja menganggur . Sebagaimana keterangan Muhaimin Iskandar selaku Menakertrans jumlah pengangguran tahun 2014 ini sebesar 7,24 juta orang. Paling tidak jika penduduk pengangguran sebesar itu membutuhkan 1186 perusahaan manufaktur agar mampu menyerap semua tenaga kerja produktif di Indonesia jika tiap perusahaan mempekerjakan sejumlah 6100 orang seperti halnya jumlah pekerja di PT Unilever Indonesia tahun 2012.

Namun demikian, tak kan mudah mengundang investor dan membangun perusahaan sebanyak itu, apalagi pengalaman kepemimpinan 10 tahun pemerintahan Pak SBY dan pemerintah2 yang telah lalu pun tidak mampu menyelesaikan persoalan tenaga kerja di Indonesia. Ditambah lagi jika para pekerja Indonesia menginginkan pendapatan yang layak. Sedangkan perusahaan masih bersikap protektif terhadap pendapatan mereka.

Melihat fenomena ini, amat kecil kemungkinan pemerintah mampu menyiapkan perusahaan yang mampu menampung jumlah pekerja yang jumlahnya sangat fantastis. Sehingga sejatinya capres dan cawapres terpilih adalah sosok yang benar-benar mampu menumbuhkan masyarakat kreatif dan menjadi fasilitator dan pendukung bagi tumbuhnya industri kreatif serta bagaimana memfasiltasi agar usaha tersebut dapat menghasilkan hasil karya yang bernilai tinggi serta mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun kebutuhan ekspor.

Salam

Jumat, 13 Juni 2014

Printer Canon (Nggak) Bagus, Celotehan dari Pengguna Canon


Saya menjadi sedikit geli dan kadang tertawa-tawa dalam hati, membaca aneka tulisan di Kompasiana yang tujuannya berebut hadiah. Seperti baru-baru ini diselenggarakan oleh pihak manajemen perusahaan printer Canon bekerjasama dengan Kompasiana. Mereka berkompetisi membuat tulisan tentang produk mesin penulis ini.

Semua tulisan dibuat dan diulas sedemikian rupa sehingga pihak manajemen dan tim juri menjadi ngeh dan bangga dengan ulasan yang dibuat oleh para penulisnya. Meskipun kadang-kadang penulisnya tidak sepenuhnya menulis sesuai fakta yang terjadi.

Kenapa saya mengatakan para penulis dalam ajang kompetisi tersebut sering tak jujur? Karena memang apa yang ditulis semata-mata merupakan pesanan dari pihak perusahaan printer agar nama perusahaannya semakin dikenal dan semakin booming. Meskipun masih ada jenis printer lain yang kualitasnya lebih baik tapi karena pencitraan yang dibuat pihak pengiklan (baca : penulis) semuanya terlihat luar biasa tanpa cela.

Saya sendiri memang sudah menggunakan printer Canon sejak saya menjadi mahasiswa. Sehingga mau tidak mau pun saya mengenal dan merasakan karakteristik dari printer yang katanya sempurna tersebut. Tapi ketika saya bandingkan dengan tulisan para teman-teman kompasiana sepertinya ada banyak hal yang disembunyikan. Entahlah, yang pasti karena semua ingin mendapatkan juara menulis meskipun kadang-kadang tak sesuai dengan kenyataannya.

Terus terang, saya seringkali mengeluhkan produk printer merk Canon ini. Di samping harganya yang cukup mahal hampir 500 rb-an untuk printer canon tipe termurah, harga cartridgenya pun setinggi langit. Jadi ketika printernya ngadat, terpaksa harus ganti printer yang baru. Dan harganya pun juga tak murah. Risiko jika membeli cartridge pun harganya hampir sama dengan printernya. Maka ketika printer saya mengalami kerusakan, saya terpaksa membeli printer yang baru karena selisih harga yang sedikit.

Selain printer ini sering ngadat karena persoalan teknis, ketika tinta sudah habispun pihak user harus melakukan pelobangan dengan jarum yang sudah disediakan. Dampaknya ketika cartrigde sudah dilubangi maka kebocoran pada bagian pencetak sering terjadi. Selain kebocoran yang terjadi, cara ini sangat ribet dan cenderung cartridge menjadi cepat rusak. Ketika saya tidak mau repot dengan melubangi satu persatu, lagi-lagi harus ganti yang baru dan harganya mencapai Rp 270.000 di pasaran Lampung bahkan bisa lebih dari itu jika pihak seller sengaja memanfaatkan konsumen awam dengan menjual dengan harga lebih tinggi. Sedangkan harga printernya sekitar 450 rb s.d 500 rb. Harga cartrige setengah harga printer.

Sebenarnya saya lebih suka printer canon tipe lama, di tahun 2000 an, printer canon tidak perlu dilubangi tapi hanya diteteskan karena memang bagian atas dari cartridge sudah mempunyai tempat untuk meneteskan tinta. Daripada menggunakan fasilitas colok atau dilubangi seperti halnya saat ini justru terkesan merusak cartridge. Nah, jika saat ini sudah ada fasilitas infus, kecenderungan yang terjadi tinta sering ngadat (tidak mau naik ke cartridge) dan selalu saja bermasalah.Wajar setiap minggu printer canon yang ada di kantor harus bolak-balik ke reparasi bahkan satu tahun ini saja ada tiga printer yang mengalami kerusakan. Hebat bukan (tepuk jidat)?

Keluhan ini tidak saya saja yang mengalami, karena hampir semua pengguna printer canon juga mengeluh karena printer ini memiliki karakter suara yang cukup berisik, dan sering macet. Jika ingin dialihkan ke moda silent maka proses pencetakannya menjadi sangat lambat.

Sebagaimana keluhan saya di atas, selama kurun waktu dua tahun ini saja, printer saya merk iP 1900 dan iP 2770 Pixma pun ngangkrak dan tak dapat saya gunakan. Persoalannya pada printer pertama karena setiap kehabisan tinta dan cartridge harus dilubangi maka saat itu juga saya jadi kecewa karena kebocoran yang terjadi. Tangan sudah blepotan tinta, kertas pun habis tersia-sia karena melakukan proses pengecekan dan pembersihan lubang pencetakan. Boros sekali.

Beberapa keluhan tersebut saya pun meyakini ada banyak penulis lomba tersebut tidak sejujurnya menuliskan apa adanya. Tapi berusaha mbagus-mbagusin agar memenangkan lomba. Tapi efek dari itu perusahaan canon tidak pernah mengevaluasi produknya bahwa produk yang dihasilkan terlali ringkih dan mudah sekali mengalami kerusakan.

Saya tidak bermaksud menjegal para penulis lomba di Kompasiana, tapi murni keluhan dari user yang sudah setia dengan canon. Semoga saja kedepannya printer ini semakin baik dengan fasilitas cartridge yang tak terlalu mahal dan model pengisian tinta yang semestinya tidak membuat ribet karena harus melubangi karena beresiko kebocoran. Dan jika menggunakan fasilitas infus tentu saja konsumen harus merogoh kocek lebih dalam. Tentu saja persoalan ini akan sangat merugikan konsumen.

Semoga printer canon semakin baik dan layak dicintai.

Salam dari Pengguna Printer Canon

Rabu, 28 Mei 2014

Pelanggaran Hak Cipta yang Semakin Merajalela

Tulisan ini bukan hanya sekedar iseng demi mengisi kekosongan ketika santai di kala sore hari, akan tetapi sebuah catatan buruk pelaku bisnis di negeri ini.

Berawal dari keinginan saya ingin melengkapi kaset DVD di rumah dengan yang baru di samping itu kebetulan anak juga menginginkannya jadi saya sengaja membelikan keping DVD di salah satu toko di Kota Metro karena kebetulan anak dan orang tua sama saja menyukai seni, baik itu musik kroncong, maupun sekedar membeli DVD game di outlet resmi “katanya” tapi sayang sekali usaha untuk mendapatkan yang asli justru berbuah pahit.

Hal ini saya alami karena baru digunakan sekali pakai ternyata barang tersebut sudah rusak. Dan setelah saya amati dengan seksama stiker / logo dalam kemasan DVD ternyata palsu. Rasa kecewa sudah pasti dan jika ingin mengembalikannya kepada si penjual pasti dia akan mengatakan bahwa barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan.

Dan jika diamati lagi di sisi jalan pasar ternyata tidak hanya di lapak-lapak penjual DVD saja yang barangnya bajakan akan tetapi juga di toko yang jelas spanduknya terpampang asli tapi ternyata juga palsu.

Kejadian tersebut mungkin tidak hanya saya yang mengalami, mungkin ada juga konsumen lain yang juga menjadi korban ulah pembajak-pembajak karya seni. Pembajakan tidak hanya benda-benda murah sekalipun seperti CD/DVD ternyata produk yang mahal juga ikut menjadi korban pembajakan. Tak ayal konsumen selaku penikmat seni ikut jadi korban.

Jika kita mau menengok undang-undang tentang pelarangan pembajakan disebutkan barang siapa yang mengkopy atau menyalin sebagian atau seluruh dari hasil karya akan dikenakan denda 1 milyar rupiah. Namun sayang sekali undang-undang yang keras pun tidak membuat pelakunya jera justru seperti jamur yang tumbuh di musim hujan.

Hampir di semua pasar sebut saja tanpa menyebut di mana wilayahnya saya menemukan produk bajakan, bisa berupa sepatu, sandal, kaset, cd/dvd, dan semua produk yang berlabel ternyata telah disulap menjadi produk yang amat murah walaupun kualitasnya dijamir buruk alias mudah rusak.

Tapi kenapa produk bajakan seperti tidak tersentuh hukum? Bahkan jika kita amati justru masyarakat sepertinya lebih menyukai produk bajakan. Padahal kita tahu semakin banyak produk bajakan beredar secara otomatis pendapatan negara dari sektor pajak akan berkurang dan akibatnya semua masyarakat juga akan mendapatkan imbasnya.

Meski tidak menafikan usaha polisi dalam memberantas pembajakan di mana beberapa waktu di salah satu siaran berita TV swasta bahwa telah digerebek pakrik CD bajakan dengan nilai ratusan juta rupiah.

Jika pedagang dengan barang bajakan saja bisa bebas berkeliaran dan berdagang, dan pembeli rata-rata menyukai produk palsu ini meski tidak awet, lalu untuk apa seseorang menciptakan hasil karya yang amat sulit dirancang bahkan untuk ilmuan mungkin butuh bertahun-tahun untuk mengeluarkan hasil karya semisal produk sikat gigi. Apalagi produk-produk yang hanya dibeli oleh orang-orang yang berkantung tebal.

Persoalan ini sebenarnya berawal dari beberapa sisi. Pertama dengan mudahnya pelaku pembajakan dapat bebas meski sudah divonis bersalah tanpa mendapatkan sanksi yang berat, dan akibatnya pelaku-pelaku tersebut cenderung mengulang kembali ulah nekat yang sama tanpa rasa takut.

Kedua, masyarakat yang terkesan cuek dengan barang bajakan karena menurut mereka bersikap acuh dirasa lebih aman dari pada melaporkan pelanggaran hukum tapi tidak memberikan keuntungan secara finansial justru keamanan diri yang terancam.

Ketiga, mahalnya produk-produk yang ada di masyarakat sehingga daya beli masyarakat yang menurun sehingga memancing perilaku jalan pintas dengan mencari yang murah dari pada yang mahal.

Melihat kesalahan di atas, akhirnya saya mulai belajar untuk lebih teliti dan selektif memilih barang-barang di toko tidak terbatas supermarket maupun outlet kecil yang penting amati dan pahami dengan seksama keasliannya agar kita tidak lagi kecewa.

Selain itu, untuk barang yang asli biasanya ditempeli stiker pajak berhologram yang itu menunjukkan barang tersebut asli serta biasanya dilengkapi garansi resmi dari dealer terkait yang memungkinkan kita bisa melakukan komplain atas produk yang telah kita beli jika terjadi kerusakan karena produk yang gagal. (maa)

Energi Alternatif Tenaga Surya, Kebijakan Mendesak Atas Kelangkaan Energi

Foto penampakan panel surya

Persoalan listrik adalah salah satu masalah yang santer kita bicarakan, yaitu pemadaman listrik yang terus terjadi. Bahkan berdasarkan obrolan masyarakat di sekitar kita tentang sering terjadinya pemadaman listrik, sampai-sampai sebagian penduduk ada yang menyebut PLN  dengan istilah “Byar Pet” karena seringnya pemadaman. 

Pemadaman yang kadang tidak memandang situasi apapun. Apakah konsumennya sedang dalam keadaan terbaring lemah di rumah sakit karena masih dalam proses operasi, orang-orang yang sibuk akan berbuka puasa atau tengah menikmati santap sahur. Dan kekecewaan yang dilontarkan kepada Lembaga BUMN ini disebabkan pelayanan listrik yang kurang bermutu bahkan yang lebih parah lagi ada sebagian masyarakat yang meluapkan kekecewaan hingga berlanjut pada pembakaran Lapas Tanjung Gusta Medan beberapa waktu lalu yang dipicu oleh tersendatnya pasokan listrik. (Harian Andalas, edisi Sabtu, 13 Juli 2013)

Permasalah listrik tidak hanya karena sistem manajemen dan pelayanan, karena jika dilihat dari sisi positifnya PLN setiap tahun mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terlihat dari semakin luasnya jaringan listrik di seluruh Indonesia. Akan tetapi, kebutuhan listrik di Indonesia mengalami pertumbuh yang sangat pesat hingga tahun 2013 ini saja kenaikan kebutuhan listrik hampir mencapai 10%. Hal ini sebagaimana direlease oleh Detikfinance (edisi Selasa, 16 Juni 2013) bahwa PT PLN (Persero) mencatat pertumbuhan pemakaian listrik hingga akhir Mei 2013 sebesar 16,07 Tera Watt hour (TWh) atau tumbuh 9,96 % bila dibanding dengan pemakaian listrik pada Mei 2012 sebesar 14,61 TWh. Hal ini menunjukkan semakin tingginya kebutuhan akan listrik.
Meningkatnya kebutuhan listrik memang cenderung positif. Akan tetapi sayangnya tidak diimbangi dengan meningkatnya pasokan listrik yang semestinya disediakan oleh PLN. Akibatnya masih banyaknya daerah-daerah yang belum memperoleh pasokan listrik. Andaikan daerah tersebut sudah dialiri listrik, ternyata  masih sering terjadi pemadaman hingga berujung pada kekecewaan konsumen.

Jika kita mau melihat kemajuan kelistrikan di dunia, India dan China ternyata mampu melampaui kemampuan negara lainnya termasuk Amerika Serikat dalam memproduksi sumber daya listrik. Hal ini terlihat dari banyak dibangunnya sumber energi alternatif tenaga surya dan kesuksesan tersebut mengakibatkan kondisi ekonomi kedua negara tersebut semakin meningkat secara signifikan sampai-sampai Presiden Barack Obama memberikan pernyataan yang mengejutkan bahwa dunia telah berubah. Perubahan itu salah satunya terlihat dengan bangkitnya China dan India sebagai kekuatan baru saat Amerika Serikat (AS) masih berjuang keras keluar dari resesi. (Vivanews.com, Edisi Sabtu, 13 Juli 2013)

Fakta ini meski sangat mengejutkan, namun tidak ada kata lain bagi Indonesia untuk mengambil ancang-ancang mengikuti jejak langkah kedua negara tersebut, dengan cara mencari solusi kekurangan listrik sebagai manifestasi tanggung jawab PLN kepada masyarakat luas selaku konsumen yang telah setia membayar tagihan listrik dengan teratur.  

Meskipun demikian, Pemerintah (PLN) sudah berupaya dengan akan melakukan kerjasama dengan PLN Malaysia dengan target 1000 megawatt dapat memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri.  Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah bahan baku energi tersebut menggunakan batubara. Padahal sumber energi tersebut suatu saat akan habis. Sedangkan jika kebutuhan listrik mengalami hambatan karena berhentinya produktifitas listrik dengan bahan baku batubara mengakibatkan kondisi yang akan lebih para di mana terganggu sistem perekomian khususnya dalam bidang industri dan rumah tangga.

Kemudian, bagaimana pemerintah dapat mencari pasokan listrik terbarukan jika sumber energi listrik sendiri mengalami masa  final productivity disebabkan habisnya bahan baku? Salah satu solusinya bagaimana menciptakan sumber energi alternatif dalam hal ini energi listrik tenaga surya PLTS dengan skala besar.

Jika melihat prospek pengembangan energi alternatif ini tentu saja sudah banyak negara-negara asia maupun eropa yang sudah memanfaatkannya dalam bidang industri maupun memenuhi kebutuhan rumah tangga dan fasilitas umum lainnya. 

China telah membangun energi alternatif tersebut berbasis tenaga surya.  Negeri Panda tersebut juga melebarkan sayapnya dengan melakukan investasi di tenaga surya dengan target  produksi listrik hingga 25 Gigawatt (GW) pada 2020 sebagai upaya peningkatan kapasitas dari produksi tahun 2011 yang hanya 2 GW. (Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral).

Lalu bagaimana dengan negara Jepang, India dan negara lain di asia?

Jepang mengembangkan sinar matahari sebagai sumber energi sudah dirintis sejak 30 tahun silam. Tak dipungkiri, tenaga surya yang diubah menjadi listrik digunakan untuk memasok kebutuhan listrik Jepang, termasuk stasiun kereta api, industri, hingga untuk keperluan rumah tangga. Bahkan kabarnya Jepang memiliki separuh dari pembangkit listrik tenaga surya yang digunakan di dunia.

Saat ini, perkembangan menggunakan sumber surya sangat pesat di Negeri Matahari Terbit. Bahkan, ahli tenaga surya Jepang menemukan sel pembangkit pada panel surya yang lebih tipis ketimbang generasi sebelumnya. Panel tipis yang dihasilkan lewat proses sederhana dengan hasil warna-warni tersebut tetap memiliki kemampuan yang sama dalam menghasilkan energi. (Energy Surya.com)

Jika melihat perkembangan energi di India juga tidak kalah pesat dari China dan Jepang, di mana negara India telah membangun ribuan panel tenaga surya yang mengilap tersebar di daerah yang tandus di negara bagian Gujarat, India sebelah barat, telah menyediakan listrik bagi masyarakat di sana selama hampir setahun.

Taman energi surya terbesar di Asia, dekat desa Charanka, didirikan April tahun lalu oleh lebih dari selusin perusahaan internasional untuk menghasilkan 214 megawatt listrik per hari.

Jika kita melihat literatur dan fakta produktifitas energi di negara tetangga semestinya penggunaan energi terbarukan dengan tenaga surya tidak dapat dianggap sebelah mata karena, pertumbuhan penduduk, infrastruktur, perusahaan serta industri-industri besar terus tumbuh di Indonesia. Seiring dengan pertumbuhan tersebut maka tidak ayal lagi membutuhkan pasokan energi yang lebih besar demi tercukupinya energi nasional.

Melihat fenomena tersebut, semestinya pemerintah segera mencari solusi bagaimana sumber energi tenaga surya tersebut juga dapat dibangun di Indonesia. Tidak hanya sekala kecil namun menyentuh skala besar dengan target penggunaannya tidak hanya rumah tangga, tetapi bernilai ekonomis ke segmen perusahaan besar. Sehingga dengan demikian produktifitas dan keuntungan PLN juga akan semakin meningkat yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan negara dari sektor industri.

Tulisan ini pertama kali dipublikasi di Kompasiana.com

Jumat, 23 Mei 2014

Gugurnya Bisnis MLM

13738209321355385491
Bisnis MLM / usahadirumah.com



Bisnis MLM merupakan akronim dari Multi Level Marketing disebut juga direct selling (penjualan langsung) atau disebut juga network marketing (jaringan penjualan) di mana pelakunya melakukan penjualan dengan sistem jaringan, satu anggota bisa disebut upline jika dia bisa mencari teman untuk bisa dijadikan jaringan di bawahnya dan mereka disebut dengan downline. Semakin banyak downline diperoleh dengan cara ajakan menjadi member maka akan semakin besar komisi atau bonus yang akan diperoleh seiring dengan aktivitas member dalam bisnis yang dijalani.

Multi-level marketing (MLM) adalah strategi pemasaran di mana kekuatan penjualan kompensasi tidak hanya untuk penjualan mereka secara pribadi menghasilkan, tetapi juga untuk penjualan tenaga penjual lain yang mereka rekrut. Tenaga penjualan direkrut disebut sebagai peserta downline“, dan dapat memberikan beberapa tingkat kompensasi istilah lain yang digunakan untuk MLM termasuk piramida penjualan, jaringan. pemasaran, dan pemasaran rujukan.

Paling umum, penjual diharapkan untuk menjual produk langsung ke konsumen melalui pemasaran langsung lewat mulut (dijajakan) secara langsung kepada konsumen. 

Perusahaan yang menggunakan model MLM untuk kompensasi telah menjadi subjek kritik dan tuntutan hukum. Kritik telah difokuskan pada kesamaan mereka untuk skema ilegal piramida, penetapan harga produk, tinggi biaya awal masuk (untuk kit pemasaran dan produk pertama), penekanan pada perekrutan orang lain atas penjualan aktual, mendorong jika tidak memerlukan anggota untuk membeli dan menggunakan produk perusahaan , eksploitasi hubungan pribadi baik sebagai penjualan dan merekrut target, skema kompensasi kompleks dan terkadang berlebihan, perusahaan membuat uang besar dari kegiatan pelatihan dan bahan, dan teknik pengkultusan yang beberapa kelompok gunakan untuk meningkatkan antusiasme dan pengabdian anggota mereka. (Wikipedia)

1373820221346086881
Sistem bisnis MLM


Kapankah sebenarnya berdirinyanya bisnis MLM?


Ada sejumlah besar perdebatan tentang kapan multi-level marketing dimulai, beberapa di antara mereka mengatakan dimulai pada tahun 1920, 1930-an dengan Nutrilite, 1940 dengan California Vitamin Company, 1960, dan bahkan hingga akhir tahun 1970-an.

Bisnis MLM pernah mengalami masa jayanya di era 2000 an CNI pernah merajai usaha MLM di Lampung karena banyak juga teman-teman yang mengikuti bisnis ini, pada saat itu, banyak  sekali orang yang tertarik termasuk di antaranya pengangguran, guru maupun pensiunan TNI yang mencoba peruntungan dengan menjalankan bisnis network ini.

Walaupun di antara mereka banyak yang mengalami kecewa dan akhirnya sampai saat ini kabarnya pun tidak terdengar lagi. Ada pula bisnis dengan nama Rich jika mereka mendaftar dengan uang sekitar 7 juta dan mereka berhasil mendapatkan member sebanyak 4 orang dengan mengumpulkan uang sesuai ketentuan di atas maka orang yang memiliki downline tersebut cukup belanja saja tanpa memasarkan dan mencari downline yang banyak sehingga menurut mereka upline akan mendapatkan 1 buah mobil. 

Namun sayangnya salah satu anggota (kebetulan sahabat saya) saat ini kabur dan entah kemana rimbanya karena menjadi DPO oleh anggota-anggota yang dulu ikut bisnis tersebut. Alasan mereka kecewa karena mobil yang dahulunya mereka peroleh ternyata ditarik oleh dealer dengan alasan angsuran kreditnya tidak dibayarkan. Sungguh aneh memang bisnis-bisnis yang dijalani tidak sesuai dengan harapan dan berbuah kekecewaan.

Adapula yang lebih heboh pada tahun 2001, kebetulan penulis pernah mendapatkan undangan pertemuan bisnis MLM dengan prinsip Pinjam Gadai Dol (Pinjam Uang, Gadaikan Surat Tanah, Jual Tanah) mereka mengaku memiliki kantor pusat di Jawa Tengah dengan link bisnisnya sampai di negara Hongkong (katanya). Dan banyak juga yang tertarik mendaftar dengan mengeluarkan uang sejumlah 7 - 12 juta dengan komisi yang dijanjikan minimal 1 juta dalam sebulan. Meskipun akhirnya banyak di antara mereka yang menjadi member kehilangan tanah, rumah namun impian yang dicita-citakan berhasil ternyata hanya isapan jempol. 

Masih banyak lagi bisnis Multi Level Marketing yang tidak saya sebutkan satu persatu namun dari semua bisnis tersebut bermuara pada satu kesimpulan bahwa bisnis tersebut termasuk bisnis yang sulit dijalankan kalau tidak mau disebut gagal. Kenapa demikian? karena di antara mereka yang menjadi pengikut setiap MLM akhirnya memilih mengundurkan diri bahkan ada yang kehilangan pekerjaann pokoknya karena keinginan mengejar target penjualan.

Sebenarnya sah-sah saja seseorang mengikuti bisnis apapun karena pada hakekatnya seseorang melakukan usaha bisnis karena ingin memperoleh penghasilan yang memadai namun sangat disayangkan di antara mereka yang memaksakan diri mengikuti bisnis yang sulit untuk dicapai bahkan adakalanya tidak logis. Seperti tersiarnya kabar beberapa artis bahkan masyarakat di lingkungan kita yang tertipu bisnis investasi dan nilai kerugian tidak hanya jutaan namun sampai ratusan juta bahkan milyaran rupiah uang yang tergadai karena mengikuti bisnis ini.

Meskipun ada pula bisnis dengan prinsip MLM yang ternyata tidak menimbulkan kerugian bagi penjualnya karena mereka beralasan jika bisnis ini ditekuni maka profit yang berlimpah akan mereka dapatkan dan jika menjadi member mereka akan memperoleh fasilitas bonus dan diskon terhadap barang yang dibeli.

Oleh karena itu, jangan sekali-kali mengikuti bisnis MLM jika di dalamnya justru menjerat kita ke dalam kasus penipuan dengan mengatasnamakan untung besar dan permainan uang (Money game) karena salah-salah kita yang akan menjadi korban atau mengorbankan orang lain. (maa)

Rabu, 21 Mei 2014

Budi Daya Lele Dumbo di Kolam Plastik

13736341661254449234
Sumber: Kompasiana.com

Tidak sedikit kita mengeluh tentang banyaknya anak-anak yang terkena busung lapar, kurang gizi atau bahasa medisnya malgizi, di mana anak-anak mengalami kekurangan sumber gizi disebabkan atau kurang terpenuhinya kebutuhan protein keluarga hal ini pengaruh dari harga pembelian bahan makanan mengandung gizi dan dikonsumsi saat ini relatif mahal bahkan jika menghadapi bulan Ramadan harga jauh lebih mahal dari harga sebelumnya.

Ada pula seorang ibu rumah tangga yang kesulitan mencari sumber protein dari tempat yang dekat karena biasanya pusat penjualan ikan agak jauh dari tempat tinggal sehingga memungkinkan cost untuk berbelanja juga akan bertambah karena BBM juga sudah naik.

Namun, keputusasaan dan kesulitan itu tidak semestinya diratapi namun bagaimana mencari solusi, salah satunya dengan membudidayakan lele di kolam plastik yang selama ini mungkin sedikit orang yang memanfaatkannya karena biasanya peternak lele menggunakan media kolam permanen untuk membudidayakan lele mereka. Akan tetapi saat ini ada alternatif lain di mana kita tidak terlalu repot menggali dan membuat kolam permanen dengan biaya yang mahal akan tetapi dapat dikurangi dengan menggunakan plastik yang relatif agak tebal agar prosesnya lebih mudah.

Jika kita menghitung biaya untuk membuat kolam plastik (terpal), persiapan benih dan pakan tidak membutuhkan biaya yang tidak banyak, yaitu menyesuaikan kebutuhan dan target pemeliharaan yang penting ukuran produksinya hanya untuk keperluan keluarga walaupun berdasarkan pengalaman masih ada saja sisa lele yang bisa dijual.

Untuk pemeliharaan dengan kapasitas keluarga cukup menyiapkan dua atau tiga kolam plastik ukuran 4 x 3 m dengan kedalaman 1 meter (tergantung jumlah ikan yang mau dipelihara) dan pemberian pakan 3 x sehari akan lebih baik dengan menggunakan pelet. Pembuatan kolam menggunakan media terpal dibantu dengan rangka bambu dan diusahakan kuat sehingga kemungkinan keluarnya ikan karena kolam jebol dapat diminimalisir. Sedangkan air yang digunakan tidak harus diganti tiap hari karena lele dapat bertahan hidup pada air keruh sekalipun.

Pemanenan lele dapat dilakukan 3 - 4 bulan tergantung kebutuhan, akan tetapi jika ingin dikonsumsi sendiri tentu saja ukuran kolam juga dikurangi disesuaikan dengan kebutuhan. Sukur-sukur jika semua ikan dipanen tentu dapat dijual dengan harga 15.000/kg.

Dengan alternatif pemeliharaan di terpal, jika dimungkinkan setiap keluarga memiliki minimal untuk kebutuhan lauk bisa dipenuhi dan dijamin kebutuhan protein tidak akan kekurangan.

Dan alhamdulillah meski terkadang keuangan mengalami pasang surutnya tapi keberadaan lauk di halaman sangat membantu dapur agar tidak sampai kekurangan. (maa)

Ekonomi Pasar, Siapakah yang Diuntungkan?

1373447345463261737

Kebijakan ekonomi pasar diakui sangat merugikan pedagang kecil. Faktanya banyak pedagang kecil dan eceran yang seperti sulit mengembangkan usahanya lantaran tekanan harga jual yang tidak menentuk. Ketidak menentuan disebabkan karena ulah dari pedadang-pedagang besar yang menguasai pasar. Dampaknya tidak hanya pedagang eceran yang menjerit, pembeli pun semakin terjerat pada harga-harga yang tak terjangkau. (gambar: kompas.com)


Santer diberitakan di beberapa media, bahkan jika ditengok lebih dekat di pusat perdagangan maupun warung-warung di sudut kota, pasti akan terjadi kenaikan harga Sembako seiring dengan datangnya bulan suci Ramadhan dan menjelang Hari Raya Iedul Fitri, meski ada sisi positifnya untuk melatih hemat karena secara otomatis konsumen akan mengurangi jumlah pembelian hanya terbatas pada produk-produk yang penting, namun ada sisi negatifnya yang tentu saja membebani masyarakat sekaligus menghambat proses dinamisasi dan akselerasi ekonomi di setiap segmen ekonomi masyarakat.

Fenomena tersebut, tidak hanya terjadi pada bahan pangan sebagai sumber pokok penghidupan masyarakat tapi juga perlengkapan sekolah sehingga secara umum orang tua mengalami kerepotan akibat kenaikan harga yang terkadang tidak sesuai dengan sepatutnya, apalagi bulan Juli merupakan bulan sibuk dan super padat bagi orang tua yang ingin mempersiapkan alat-alat belajar atau kebutuhan sekolah anak-anaknya.

Mengapa kenaikan selalu terjadi tatkala semua umat disibukkan dengan rutinitas Ramadhan dan orang tua sedang menghadapi kebutuhan sekolah bagi anak-anaknya?

Jika diuraikan satu persatu, persoalan ini memiliki dasar masalah sebagai berikut:

Sistem ekonomi Indonesia merupakan sistem ekonomi pasar di mana sistem harga ditentukan oleh pemilik sektor perdagangan dalam hal ini adalah agen besar yang tentu saja memiliki modal yang besar. Ekonomi sama sekali tidak diatur oleh pemerintah akan tetapi berjalan sesuai dengan aturan (rule) pasar itu sendiri. Sebagaimana direlease dalam Wikipedia bahwa perekonomian pasar (market economic), pasar lah yang mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi barang dan jasa melalui permintaan dan penawaran.
Efek yang ditimbulkan akibat ekonomi pasar adalah bahwa semua harga komoditas sangat tergantung dari pasar yang tentu saja masyarakat akan mengalami konflik yang cukup signifikan apabila harga-harga tidak terjangkau lagi untuk ukuran masyarakat kecil ditambah lagi jika pedagang di tingkat eceran dengan sengaja menaikkan harga semau gue meski masyarakat dalam kondisi tercekik yang tak ayal lagi masyarakat yang tidak memahami sistem ekonomi ini akan menyalahkan pemerintah selaku pemilik kebijakan pasar padahal pemerintah sama sekali tidak memiliki wewenang penuh terhadap kebijakan harga yang berlaku di masyarakat.

Sistem ekonomi pasar sebenarnya tidak semata-mata terjadi di Indonesia, akan tetapi sudah menjadi kebijakan dunia kebijakan ekonomi ini dilaksanakan oleh semua negara yang berada pada struktur dan sistem organisasi perdagangan dunia (WTO). Dimana kebijakan WTO sebagaimana direlease antara news.com edisi Senin, 13 Mei 2013, menyebutkan bahwa WTO adalah organisasi yang dibentuk pada 1 Januari 1995, berdasarkan Perjanjian Marrakesh, yang bertujuan mengganti lembaga General Agreement on Tariffs and Trade (GATT, terbentuk sejak 1948) dalam mengawasi dan meliberalisasi perdagangan internasional. Organisasi tersebut berurusan dengan regulasi perdagangan di antara beragam negara yang berpartisipasi, dan bertugas menyediakan kerangka perundingan dan memformalisasi perjanjian-perjanjian perdagangan, serta mengatasi perselisihan dalam proses pembuatan resolusi yang selaras dengan perjanjian WTO.

Lebih jauh dalam situs yang sama disebutkan bahwa salah satu perbedaan yang diperdebatkan adalah keengganan negara-negara maju untuk meninggalkan kebijakan subsidi pertaniannya, dan di sisi lain, negara-negara berkembang juga tetap mempertahankan tarif impor untuk memproteksi pasar nasional mereka, namun demikian seberapapun kuatnya proteksi tersebut akan selalu bertentangan dengan kebutuhan yang mesti dipenuhi, sehingga mau tidak mau impor dengan skala besar terjadi.

Akibat kebijakan tersebut harga-harga pertanian secara otomatis akan mengalami kenaikan yang signifikan jika negara yang bersangkutan tidak dapat memenuhi kuota kebutuhan pangan di tingkat lokal, yang akibatnya negara-negara lain yang memiliki penghasilan yang melimpah akan dengan mudah melakukan eksport dengan beacukai yang murah. Bahkan bisa jadi WTO menghendaki tidak ada pungutan dengan masuknya barang-barang ke negara konsumen. Seperti halnya saat ini di Indonesia sudah menjadi pangsa pasar nomor wahid produk dari China yang notabene tergolong sangat murah. Hal ini berakibat hancurnya nilai penjualan produk-produk asli dalam negeri dan mematikan sumbernya yakni petani sebagai pelakunya.

Bahkan menurut Rakyat Merdeka Online Edisi Kamis, 23 Mei 2013 bahwa kebijakan kuota ekspor dan impor oleh WTO semakin membuat Indonesia seperti tidak punya kendali untuk mengatur perdagangan dalam negeri. Padahal sebagai negara berdaulat, pemerintah punya andil besar menetapkan setiap kebijakan yang mendorong petani maupun pedagang lokal.

Kondisi inilah yang menjadikan rakyat kecil semakin menjerit sedangkan pemerintah selaku stakeholder tidak memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengendalikan harga-harga yang ada di masyarakat. Akan tetapi, pemerintah memiliki kebijakan operasi pasar meski tidak langgeng sedikit banyak dapat mengontrol harga-harga meskipun tidak menyentuh pada akar permasalahan yang ada.

Lalu, siapa yang sebenarnya paling diuntungkan melihat kondisi perdagangan yang fluktuatif namun cenderung naik sedangkan pendapatan ekonomi masyarakat relatif rendah? Jika melihat fenomena di atas, pemilik modal tentu saja akan sangat bisa mengendalikan ekonomi dan sangat diuntungkan dengan uangnya. Walaupun sedikit bersinggungan dengan sistem kapitalis, tapi saat ini Indonesia sedang mengalaminya meski dasar negara Pancasila namun faktanya?…..(maa)

Artikel ini pertama kali dipublis di Kompasiana.com

Iklan Terlalu Menghipnotis Masyarakat Indonesia

Setiap hari, atau bahkan setiap detik penonton televisi atau media sosial apapun selalu disuguhkan beraneka ragam model, desain, dan gaya sebuah iklan. Entah iklan minuman, makanan yang relatif murah adapula iklan rumah mewah dengan berbagai tipe dan mobil mewah dengan berbagai merek. Serta model iklan yang setiap hari selalu berubah dan sepertinya begitu indah dan nikmatnya ketika bisa memiliki atau sekedar merasakan walau sekejap saja.

Namun, adakalanya iklan yang justru sama sekali tidak sesuai dengan kondisi aslinya, di mana pemirsa disuguhkan dengan aneka produk dan masing-masing produk saling bersaing ingin mendapatkan simpati bahkan pasar yang sebanyak-banyaknya dengan menjual iklan yang bagi halayak umum amat sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu karena semua iklan dibalut dengan sentuhan keindahan, imagine dan membuat orang-orang tergiur untuk membelinya. Meski adakalanya yang membeli produk tersebut tidak benar-benar mengetahui manfaat, cara menggunakan dan bahaya apabila salah dalam penggunaannya.

Memang, kasus penyalahgunaan suatu produk akibat kesalahan pemakaian lebih sedikit dibandingkan kesalahan karena semata-mata produk yang dibeli tidak seperti apa yang diinginkan. Sebut saja iklan kosmetik, setiap orang menganggap semua kosmetik yang beredar dipasaran sudah sesuai dengan standar kesehatan karena minimnya pengetahuan penggunanya, namun sayang sekali, justru ketidak tahuan konsumen dalam memahami produk dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya yang berdampak banyak konsumen salah memilih bahkan menjadi korban penipuan iklan karena ternyata produk yang dijual mengandung bahan kimia yang berbahaya.

Kondisi ini tidak jarang terjadi di masyarakat, bahkan yang amat lucu seseorang yang membeli kulkas karena tertarik melihat iklan televisi padahal  di rumah belum tersedia fasilitas listrik. Atau orang tua yang membelikan mainan untuk anak-anaknya justru anaknya menjadi korban.
Akan tetapi, kasus di atas hanya sebagian kecil yang tercover akibat kesalahan dari sebuah iklan, bahkan yang lebih fatal lagi seseorang yang terobsesi sebuah produk dari iklan justru berusaha membeli dengan cara yang tidak dibenarkan.

Fenomena ini mungkin sudah dianggap biasa, karena bagi produsen sebuah produk apalagi produk ternama menghendaki sandiwara iklan tersebut dapat menarik simpati yang sebanyak-banyaknya dari konsumen tanpa melihat sisi negatif akibat penayangan iklan yang bisa dianggap berlebih-lebihan. Bahkan sebuah iklan bisa dianggap sebagai racun yang membunuh banyak orang dengan cara membius mereka dengan wajah-wajah yang menarik namun berujung pada sikap konsumerisme yang berlanjut hingga generasi mudanya.

Sebenarnya apa sih penyebab seseorang begitu mudah terpancing atau terperangkap tipu daya iklan? dan mengapa begitu banyak masyarakat yang mudah terhanyut bahkan terperdaya dengan sebuah iklan yang notabene mereka cenderung mendesain sebuah iklan supaya bagaimana sebuah produk terlihat baik dengan desain dan polesan menarik?

Kecenderungan masyarakat dewasa ini memiliki perhatian besar terhadap produk tanpa melihat sisi negatif dan dampak ketika keliru dalam menggunakannya ini disebabkan karena setiap iklan yang ditayangkan cenderung memiliki penampilan yang menghibur dan memikat perhatian konsumen sehingga pelan-pelan sebuah produk menjadi topik yang lebih banyak dicari di media informasi dari pada informasi lainnya.

Gejala lain, karena rata-rata produk yang dijual di pasaran mudah didapat karena hampir setiap outlet bahkan yang lebih kecil di setiap sudut kota terdapat showroom yang siap melayani pembelinya kapanpun mereka membutuhkan.

Selain itu, begitu bebasnya sebuah iklan dapat terbit disebabkan pranata sosial dan undang-undang sedikit sekali memberikan perhatian terhadap iklan yang muncul dengan alasan iklim ekonomi pasar yang memudahkan setiap orang menjual dan memasarkan produknya dengan cara apapun dengan tujuan agar bisa menarik sebanyak-banyaknya pangsa pasar.

Euforia masyarakat di negara berkembang memiliki kecenderungan membeli gambar ketimbang membeli manfaatnya yang sebenarnya justru akan mencerumuskan seseorang lepas kendali dan kehilangan kontrol terhadap budaya konsumerisme.

Masih minimnya sosialisasi pemerintah terhadap resiko penggunaan produk sehingga masyarakat awam cenderung memiliki pengetahuan yang kurang memadai tentang produk-produk yang beredar di masyarakat. Selain itu sanksi terhadap pembuat iklan maupun produsen sebuah produk masih belum menyentuh persoalan yang sebenarnya akan tetapi hanya terbatas sanksi formal ketimbang sanksi sosial di mana pelan-pelan masyarakat akan lebih sadar dan mau meninggalkan produk yang tidak layak jual dengan menggunakan produk yang justru dianggap tidak berkelas akan tetapi minim resiko dan tidak merugikan. (maa)

Nasib Pekerja Indonesia yang Belum Loh Jinawi



Kisah ini, jika pantas disebut dongeng sebelum tidur atau sinetron dalam film Indonesia yang biasanya menggambarkan kemewahan dengan rumah kontrakan, dan perlakuan kasar para orang tua, suami atau istrinya atau sikap amburadul keluarga yang sama sekali jauh dari nilai-nilai tentram.  

Namun, ada sisi lain yang cenderung terbilang apa adanya tidak dibuat-buat alias lip service atau bahasa kerennya fatamorgana, yang kadang-kadang dipakai orang tua sebagai teman tidur bagi anak-anaknya. 

Kisah ini menceritakan seorang yang selama hidupnya hanya berprofesi sebagai kuli meski bisa juga dibilang sudah nasib tapi bukan apes karena pria ini sebut saja Simin merasakan hari-harinya bahagia meski dengan gaji pas-pasan tapi bukan pula disebut pas-pasan seperti orang kaya bilang pas ingin beli mobil ada, pas ingin rumah tingkat ada, pas ingin traveling ke luar negeri ada, tapi penghasilan pria ini sungguh pas-pasan katanya sih yang penting wajan dan panji nggak nggoleng yang artinya yang penting panci dan penggorengan masih bisa dipakai untuk memasak nasi dan sayur doank meski tanpa lauk-pauk dan susu yang pantas.

Sehari-harinya Simin bekerja sebagai seorang kuli bangunan, mungkin sudah kodrat karena sekolahnya hanya sampai SR (sekolah rakjat), Siminpun rela bekerja full time dengan bercucuran keringat, mengaduk semen sekaligus melayani para tukang yang sedang bekerja. Namun Simin menjalaninya dengan tekun, tanpa mengenal lelah, patuh dengan pak tukang dan bos besar yang mempunyai proyek. Karena jika ia tidak menurut maka akibatnya jatah rezeki bisa dicabut dari peredaran alias kena PHK. Namun sayang sekali, meski dia bekerja dengan tekun kadang uang jerih payah dari peras keringat dan membanting tulangpun raib karena dibawa kabur pemborongnya.

Wajah yang awalnya sumringah karena beras di rumah tidak sampai telat tapi sayang sekali harapannya pun sirna karena uang kerja kerasnya selama itu tidak dibayarkan. Malang benar nasib orang yang tidak sekolah hanya bermodal tenaga dan ketekunan masih saja ditipu dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum proyek yang sengaja mengambil keuntungan yang tidak halal.

Sampai dirumah, berbekal muka yang masam, badan lusuh dan kelelahan dia mengadukan kisahnya kepada istrinya, dan ketika istrinya tahu bahwa jatah berasnya tidak dibayar pemborong untung saja istrinya bisanya mengeluh “Oalah Pak-pak! Nasipe awake dewe ki kog nemen teman susahe!” (Ya ampun Pak, nasib kita kog susah begini! dengan logat Jawa yang kental istrinya mengeluhkan nasibnya yang tidak menentu karena usaha suaminya tidak mendapatkan bayaran yang setimpal.

Sepenggal kisah ini adalah nyata adanya, di mana seringkali seorang pekerja rendahan justru menjadi alat yang paling mudah demi memperoleh keuntungan semata, Meski sikap polosnya kental, justru inilah yang dimanfaatkan para pengusaha kontraktor nakal untuk memperoleh penghasilan dengan cara mencekik masyarakat kecil.

Tidak sampai di situ, merasa upah kerjanya belum dibayar, Simin pun mencari alamat Pemborong “Bos besar” dan dengan berbekal tanya sana-sini ternyata usahanya sia-sia karena haknyapun tidak dibayarkan alasan pemborong karena proyeknya rugi. Dengan langkah gontai, Simin meninggalkan rumah mewah pemborong yang telah menipunya, dengan hati penuh amarah, tapi tidak bisa berbuat banyak karena pengalamannya yang dapat dibilang kurang.

Memang, nasib seseorang tidak semata-mata ditentukan ijazahnya akan tetapi keadaan alam yang sangat tidak bersahabat dengan masyarakat kecil yang notabene minim pengalaman. Dan anehnya lagi mereka yang dikatakan minim pengalaman justru memiliki sikap yang jujur dan bekerja dengan ketekunan tidak semata-mata karena diawasi pimpinan.

Kesan mendalam dari kisah ini, betapa kejujuran dan kerja keras masih dianggap barang murahan dan mereka lebih menghargai orang-orang yang berpakaian ala kantoran, wajah klimis, sepatu mengkilap tapi ternyata kejujurannya tidak berbanding lurus dengan penampilannya, ini terbukti begitu banyak orang yang berdasi yang rela mengambil hak-hak orang kecil tanpa memikirkan bagaimanakah kehidupan dalam kekurangan, KKN di mana-mana, suap menjadi primadona demi memperoleh kehidupan yang tidak hakiki.

Apa yang berlaku bagi Simin, masih dapat dibilang mendingan karena ada pula karena menuruti perintah bos besar seorang pekerja harus rela mengurangi jatah semen adukan karena semata-mata ingin tetap bekerja di jasa konstruksi yang sama. 

Karena dengan keterpaksaan pun dia rela melakukan perintah bos besar agar penghasilannya tidak berkurang. Namun, yang lebih menyesakkan lagi seseorang karyawan yang tiba-tiba dipecat karena masalah dianggap tidak disiplin karena perusahaan ingin mengurangi jumlah pekerja. Padahal dua hari sebelumnya mereka menutunt kenaikan gaji agar layak sebesar Upah Minimum Propinsi (UMP). Dan lebih parah lagi ketika pekerjaan mereka dikontrak layaknya mesin yang tidak memiliki hak atas pesangon terganjal dengan istilah outsourcing

Sungguh orang-orang yang tak punya hati, apa yang dicari hanyalah urusan perut semata tanpa memikirkan rasa keadilan.

Sulitnya kehidupan seorang pekerja tidak sampai disitu, alih-alih dapat memenuhi kehidupan yang layak, rumah yang ditempati ternyata digusur pula untuk pembangunan gedung pencakar lagit, mall, dan bangunan-bangunan elit. Padahal semasa Kampanye Pilkada pasti mereka para pekerja selalu dirangkul dengan dijanjikan kehidupan yang layak, dan upah yang sesuai dengan kehidupan mereka.

Semoga, kisah Simin dan para pekerja lainnya menjadi cermin dan inspirasi agar  kita tidak memanfaatkan dan memperlakukan mereka demi kepentingan sesaat dan mengumbar janji-janji palsu tapi menipu. Semoga. (maa)