Rabu, 21 Mei 2014

Nasib Pekerja Indonesia yang Belum Loh Jinawi



Kisah ini, jika pantas disebut dongeng sebelum tidur atau sinetron dalam film Indonesia yang biasanya menggambarkan kemewahan dengan rumah kontrakan, dan perlakuan kasar para orang tua, suami atau istrinya atau sikap amburadul keluarga yang sama sekali jauh dari nilai-nilai tentram.  

Namun, ada sisi lain yang cenderung terbilang apa adanya tidak dibuat-buat alias lip service atau bahasa kerennya fatamorgana, yang kadang-kadang dipakai orang tua sebagai teman tidur bagi anak-anaknya. 

Kisah ini menceritakan seorang yang selama hidupnya hanya berprofesi sebagai kuli meski bisa juga dibilang sudah nasib tapi bukan apes karena pria ini sebut saja Simin merasakan hari-harinya bahagia meski dengan gaji pas-pasan tapi bukan pula disebut pas-pasan seperti orang kaya bilang pas ingin beli mobil ada, pas ingin rumah tingkat ada, pas ingin traveling ke luar negeri ada, tapi penghasilan pria ini sungguh pas-pasan katanya sih yang penting wajan dan panji nggak nggoleng yang artinya yang penting panci dan penggorengan masih bisa dipakai untuk memasak nasi dan sayur doank meski tanpa lauk-pauk dan susu yang pantas.

Sehari-harinya Simin bekerja sebagai seorang kuli bangunan, mungkin sudah kodrat karena sekolahnya hanya sampai SR (sekolah rakjat), Siminpun rela bekerja full time dengan bercucuran keringat, mengaduk semen sekaligus melayani para tukang yang sedang bekerja. Namun Simin menjalaninya dengan tekun, tanpa mengenal lelah, patuh dengan pak tukang dan bos besar yang mempunyai proyek. Karena jika ia tidak menurut maka akibatnya jatah rezeki bisa dicabut dari peredaran alias kena PHK. Namun sayang sekali, meski dia bekerja dengan tekun kadang uang jerih payah dari peras keringat dan membanting tulangpun raib karena dibawa kabur pemborongnya.

Wajah yang awalnya sumringah karena beras di rumah tidak sampai telat tapi sayang sekali harapannya pun sirna karena uang kerja kerasnya selama itu tidak dibayarkan. Malang benar nasib orang yang tidak sekolah hanya bermodal tenaga dan ketekunan masih saja ditipu dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum proyek yang sengaja mengambil keuntungan yang tidak halal.

Sampai dirumah, berbekal muka yang masam, badan lusuh dan kelelahan dia mengadukan kisahnya kepada istrinya, dan ketika istrinya tahu bahwa jatah berasnya tidak dibayar pemborong untung saja istrinya bisanya mengeluh “Oalah Pak-pak! Nasipe awake dewe ki kog nemen teman susahe!” (Ya ampun Pak, nasib kita kog susah begini! dengan logat Jawa yang kental istrinya mengeluhkan nasibnya yang tidak menentu karena usaha suaminya tidak mendapatkan bayaran yang setimpal.

Sepenggal kisah ini adalah nyata adanya, di mana seringkali seorang pekerja rendahan justru menjadi alat yang paling mudah demi memperoleh keuntungan semata, Meski sikap polosnya kental, justru inilah yang dimanfaatkan para pengusaha kontraktor nakal untuk memperoleh penghasilan dengan cara mencekik masyarakat kecil.

Tidak sampai di situ, merasa upah kerjanya belum dibayar, Simin pun mencari alamat Pemborong “Bos besar” dan dengan berbekal tanya sana-sini ternyata usahanya sia-sia karena haknyapun tidak dibayarkan alasan pemborong karena proyeknya rugi. Dengan langkah gontai, Simin meninggalkan rumah mewah pemborong yang telah menipunya, dengan hati penuh amarah, tapi tidak bisa berbuat banyak karena pengalamannya yang dapat dibilang kurang.

Memang, nasib seseorang tidak semata-mata ditentukan ijazahnya akan tetapi keadaan alam yang sangat tidak bersahabat dengan masyarakat kecil yang notabene minim pengalaman. Dan anehnya lagi mereka yang dikatakan minim pengalaman justru memiliki sikap yang jujur dan bekerja dengan ketekunan tidak semata-mata karena diawasi pimpinan.

Kesan mendalam dari kisah ini, betapa kejujuran dan kerja keras masih dianggap barang murahan dan mereka lebih menghargai orang-orang yang berpakaian ala kantoran, wajah klimis, sepatu mengkilap tapi ternyata kejujurannya tidak berbanding lurus dengan penampilannya, ini terbukti begitu banyak orang yang berdasi yang rela mengambil hak-hak orang kecil tanpa memikirkan bagaimanakah kehidupan dalam kekurangan, KKN di mana-mana, suap menjadi primadona demi memperoleh kehidupan yang tidak hakiki.

Apa yang berlaku bagi Simin, masih dapat dibilang mendingan karena ada pula karena menuruti perintah bos besar seorang pekerja harus rela mengurangi jatah semen adukan karena semata-mata ingin tetap bekerja di jasa konstruksi yang sama. 

Karena dengan keterpaksaan pun dia rela melakukan perintah bos besar agar penghasilannya tidak berkurang. Namun, yang lebih menyesakkan lagi seseorang karyawan yang tiba-tiba dipecat karena masalah dianggap tidak disiplin karena perusahaan ingin mengurangi jumlah pekerja. Padahal dua hari sebelumnya mereka menutunt kenaikan gaji agar layak sebesar Upah Minimum Propinsi (UMP). Dan lebih parah lagi ketika pekerjaan mereka dikontrak layaknya mesin yang tidak memiliki hak atas pesangon terganjal dengan istilah outsourcing

Sungguh orang-orang yang tak punya hati, apa yang dicari hanyalah urusan perut semata tanpa memikirkan rasa keadilan.

Sulitnya kehidupan seorang pekerja tidak sampai disitu, alih-alih dapat memenuhi kehidupan yang layak, rumah yang ditempati ternyata digusur pula untuk pembangunan gedung pencakar lagit, mall, dan bangunan-bangunan elit. Padahal semasa Kampanye Pilkada pasti mereka para pekerja selalu dirangkul dengan dijanjikan kehidupan yang layak, dan upah yang sesuai dengan kehidupan mereka.

Semoga, kisah Simin dan para pekerja lainnya menjadi cermin dan inspirasi agar  kita tidak memanfaatkan dan memperlakukan mereka demi kepentingan sesaat dan mengumbar janji-janji palsu tapi menipu. Semoga. (maa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar