
Kisah ini, jika pantas disebut dongeng
sebelum tidur atau sinetron dalam film Indonesia yang biasanya
menggambarkan kemewahan dengan rumah kontrakan, dan perlakuan kasar para
orang tua, suami atau istrinya atau sikap amburadul keluarga yang sama
sekali jauh dari nilai-nilai tentram.
Namun, ada sisi lain yang
cenderung terbilang apa adanya tidak dibuat-buat alias lip service atau
bahasa kerennya fatamorgana, yang kadang-kadang dipakai orang tua
sebagai teman tidur bagi anak-anaknya.
Kisah ini
menceritakan seorang yang selama hidupnya hanya berprofesi sebagai kuli
meski bisa juga dibilang sudah nasib tapi bukan apes karena
pria ini sebut saja Simin merasakan hari-harinya bahagia meski dengan
gaji pas-pasan tapi bukan pula disebut pas-pasan seperti orang kaya
bilang pas ingin beli mobil ada, pas ingin rumah tingkat ada, pas ingin traveling ke luar negeri ada, tapi penghasilan pria ini sungguh pas-pasan katanya sih yang penting wajan dan panji nggak nggoleng yang artinya yang penting panci dan penggorengan masih bisa dipakai untuk memasak nasi dan sayur doank meski tanpa lauk-pauk dan susu yang pantas.
Sehari-harinya Simin bekerja sebagai seorang kuli bangunan, mungkin sudah kodrat karena sekolahnya hanya sampai SR (sekolah rakjat), Siminpun rela bekerja full time
dengan bercucuran keringat, mengaduk semen sekaligus melayani para
tukang yang sedang bekerja. Namun Simin menjalaninya dengan tekun, tanpa
mengenal lelah, patuh dengan pak tukang dan bos besar yang
mempunyai proyek. Karena jika ia tidak menurut maka akibatnya jatah
rezeki bisa dicabut dari peredaran alias kena PHK. Namun sayang sekali,
meski dia bekerja dengan tekun kadang uang jerih payah dari peras
keringat dan membanting tulangpun raib karena dibawa kabur pemborongnya.
Wajah yang awalnya sumringah karena beras di rumah tidak sampai telat
tapi sayang sekali harapannya pun sirna karena uang kerja kerasnya
selama itu tidak dibayarkan. Malang benar nasib orang yang tidak sekolah
hanya bermodal tenaga dan ketekunan masih saja ditipu dan dimanfaatkan
oleh oknum-oknum proyek yang sengaja mengambil keuntungan yang tidak halal.
Sampai dirumah, berbekal muka yang
masam, badan lusuh dan kelelahan dia mengadukan kisahnya kepada
istrinya, dan ketika istrinya tahu bahwa jatah berasnya tidak dibayar
pemborong untung saja istrinya bisanya mengeluh “Oalah Pak-pak! Nasipe
awake dewe ki kog nemen teman susahe!” (Ya ampun Pak, nasib kita kog
susah begini! dengan logat Jawa yang kental istrinya mengeluhkan
nasibnya yang tidak menentu karena usaha suaminya tidak mendapatkan
bayaran yang setimpal.
Sepenggal kisah ini adalah nyata adanya,
di mana seringkali seorang pekerja rendahan justru menjadi alat yang
paling mudah demi memperoleh keuntungan semata, Meski sikap polosnya
kental, justru inilah yang dimanfaatkan para pengusaha kontraktor nakal
untuk memperoleh penghasilan dengan cara mencekik masyarakat kecil.
Tidak sampai di situ, merasa upah kerjanya belum dibayar, Simin pun mencari alamat Pemborong “Bos besar” dan
dengan berbekal tanya sana-sini ternyata usahanya sia-sia karena
haknyapun tidak dibayarkan alasan pemborong karena proyeknya rugi.
Dengan langkah gontai, Simin meninggalkan rumah mewah pemborong yang telah menipunya, dengan hati penuh amarah, tapi tidak bisa berbuat banyak karena pengalamannya yang dapat dibilang kurang.
Memang, nasib seseorang tidak
semata-mata ditentukan ijazahnya akan tetapi keadaan alam yang sangat
tidak bersahabat dengan masyarakat kecil yang notabene minim pengalaman.
Dan anehnya lagi mereka yang dikatakan minim pengalaman justru memiliki
sikap yang jujur dan bekerja dengan ketekunan tidak semata-mata karena
diawasi pimpinan.
Kesan mendalam dari kisah ini, betapa
kejujuran dan kerja keras masih dianggap barang murahan dan mereka lebih
menghargai orang-orang yang berpakaian ala kantoran, wajah klimis,
sepatu mengkilap tapi ternyata kejujurannya tidak berbanding lurus
dengan penampilannya, ini terbukti begitu banyak orang yang berdasi yang
rela mengambil hak-hak orang kecil tanpa memikirkan bagaimanakah
kehidupan dalam kekurangan, KKN di mana-mana, suap menjadi primadona
demi memperoleh kehidupan yang tidak hakiki.
Apa yang berlaku bagi Simin, masih dapat dibilang mendingan karena ada pula karena menuruti perintah bos besar
seorang pekerja harus rela mengurangi jatah semen adukan karena
semata-mata ingin tetap bekerja di jasa konstruksi yang sama.
Karena
dengan keterpaksaan pun dia rela melakukan perintah bos besar
agar penghasilannya tidak berkurang. Namun, yang lebih menyesakkan lagi
seseorang karyawan yang tiba-tiba dipecat karena masalah dianggap tidak
disiplin karena perusahaan ingin mengurangi jumlah pekerja. Padahal dua
hari sebelumnya mereka menutunt kenaikan gaji agar layak sebesar Upah
Minimum Propinsi (UMP). Dan lebih parah lagi ketika pekerjaan mereka
dikontrak layaknya mesin yang tidak memiliki hak atas pesangon terganjal
dengan istilah outsourcing.
Sungguh orang-orang yang tak punya hati, apa yang dicari hanyalah urusan perut semata tanpa memikirkan rasa keadilan.
Sulitnya kehidupan seorang pekerja tidak
sampai disitu, alih-alih dapat memenuhi kehidupan yang layak, rumah
yang ditempati ternyata digusur pula untuk pembangunan gedung pencakar
lagit, mall, dan bangunan-bangunan elit. Padahal semasa Kampanye Pilkada
pasti mereka para pekerja selalu dirangkul dengan dijanjikan kehidupan
yang layak, dan upah yang sesuai dengan kehidupan mereka.
Semoga, kisah Simin dan para pekerja
lainnya menjadi cermin dan inspirasi agar kita tidak memanfaatkan dan
memperlakukan mereka demi kepentingan sesaat dan mengumbar janji-janji
palsu tapi menipu. Semoga. (maa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar