Jumat, 30 September 2016

Kisruh Harga Daging Sapi, Bagaimana dengan Masyarakat Miskin?



 
Harga daging sapi masih tetap mahal (Gambar: Republika.co.id)

Daging, ternyata sampai sejauh ini sangat istimewa di mata sebagian besar masyarakat Indonesia. Semua jenis daging, baik daging ayam maupun daging sapi merupakan menu yang teramat mewah bagi kalangan bawah atau kaum miskin papa. Mereka sama sekali tidak berfikir berapa sih harga daging? Atau esok ingin makan rendang, misalnya. Yang ada dalam fikiran mereka bagaimana bisa mencukupi kebutuhan makanan ala kadarnya. 

Tak peduli lagi berapapun harga daging yang beredar saat ini. Semua serasa cuex bebek, tak menganggap sebagai masalah krusial. Karena faktanya jika kita selusuri lebih jauh kemampuan masyarakat kelas bawah dari segi ekonomi tentu amat jauh berbeda dibandingkan dengan masyarakat menengah ke atas. Jangankan memikirkan harga daging yang mahal, bisa menikmati ikan asin atau telur saja sudah cukup. 

Bukan berarti mereka tidak suka makan daging, tapi karena ketiadaan ekonomi yang memaksa mereka gigit jari dan cukup menahan diri untuk tidak memikirkan sesuatu yang tidak mungkin mereka nikmati. Paling tidak untuk saat ini hanyalah menu sederhana plus ikan laut yang harganya lumayan miring dibandingkan dengan harga daging sapi. 

Harga ikan asin yang berkisah Rp 15.000 - 30.000 perkilogram, dan ikan laut segar berkisah Rp 25.000 juga masih dianggap mahal. Tapi hanya ikan-ikan jenis inilah yang menjadi menu andalan. Dan yang lebih parah lagi ada yang hanya bisa menikmati lauk tempe dan sayuran daun singkong sebagai menu utama, lantaran hanyalah itu bahan baku menu makan inilah yang bisa mereka nikmati saat ini. 

Dengan estimasi harga di atas seratus ribu saat ini tentu menjadi makanan mahal bagi yang berkantung tipis. Seandainya diturunkan harganya sampai Rp 80.000 pun masih terlalu mahal. Bagaimana tidak mahal, untuk pekerja bangunan dengan gaji harian rata-rata Rp 80.000 tentulah hanya bisa dibelikan satu kg jika memang harga dagingnya Rp 80.000. Bagaimana jika harga itu melambung hingga Rp 150.000, maka lebih baik mereka membeli tempe daripada untuk membeli beras tidak ada lagi. Seandainya ingin menikmati daging sapi atau kambing, kemungkinan besar mereka lebih memilih membeli sate atau bakso dengan kualitas daging yang rendah. Dengan harga Rp 15.000, kaum miskin bisa menikmati daging sapi dalam bulatan bakso meskipun percampuran antara tepung dan daging 10 : 1. Sepuluh kilo untuk tepung dan 1 kilo untuk daging. Sudah begitu agar rasanya bisa nonjok, maka diberikanlah perasa daging yang banyak dijual bebas. Jadilah masyarakat miskin bisa menikmati daging bohongan sedangkan harga daging yang mahal hanya jadi suara-suara orang-orang kaya yang mampu membelinya. 

Bagaimana kondisi per-dagingan saat ini? 

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Presiden Jokowi sudah merencanakan dan membuat kebijakan harga daging sapi tidak boleh melebihi Rp 80.000 per kilogram. Meskipun faktanya sampai detik ini, harga yang diinginkan pun masih sebatas angan-angan. Berbeda sekali dengan di Malaysia, harga daging sapi kisaran Rp 50.000 perkilogram. Jadi masih kalah jauh pemerintah saat ini mampu menekan harga daging. 

Meskipun demikian, salut kepada Presiden yang sudah berusaha menurunkan harga dengan operasi pasar. Meskipun dampaknya kran import tidak dapat dielakkan. 

Swasembada daging yang dicanangkan Presiden akan terpenuhi ternyata juga belum tercapai. Karena memang mengelola ketersediaan daging dalam negeri bukan seperti membuat bakso. Sekali penyet keluar baksonya. Ini jelas berbeda, masyarakat harus siap-siap menjadi peternak unggul agar mereka bisa membudidayakan sapi dengan kualitas minimal setara dengan peternak dari Australia. 

Selain tidak mudahnya menyiapkan tenaga ahli dan peternak unggul, ketersediaan sumber daya atau daya dukung juga masih minimal. Ada kesiapan penuh dari aparat daerah untuk bekerja sinergi dengan pemerintah pusat dalam menyiapkan infrastruktur dan SDM di daerah demi lancarnya program swasembada daging. 

Faktor lain yang sulitnya memenuhi harapan rakyat terkait kemampuan memproduksi daging nasional adalah, karena tingkat kejujuran dan kemauan masyarakat yang relatif rendah. Misalnya beberapa waktu lalu di jaman presiden sebelumnya, sudah ada program bantuan sapi yang tujuannya membantu masyarakat desa. Pada awal program baik-baik saja, tapi setelah kurun waktu beberapa tahun, ternyata bantuan sapi itu tidak ada lagi keberadaannya. 

Peternak lokal yang dianggap mampu membudidayakan sapi juga ternyata hanya isapan jempol belaka. Meskipun ada yang berhasil, hampir sebagian besar mengalami kegagalan, faktornya : ketersediaan lahan untuk pakan ternak, kemampuan memproduksi pakan secara modern, kondisi ekonomi. 

Ketersediaan lahan menjadi alasan mengapa program sapi nasional selalu saja terkendala, karena petani daerah untuk membuka lahan yang dipakai untuk pakan mereka tentu keberatan. Dengan luas 1 hektar, petani lebih memilih menanam padi dan singkong daripada menanam rumput, baik rumput gajah maupun rumput lainnya. 

Kemampuan memproduksi pakan secara modern juga bukan hanya sebatas teori, karena SDM pun harus ditingkatkan, ketersediaan mesin pencacah pakan dan kemitraan dengan perkebunan sawit, kelapa maupun pengembangan rumput gajah juga menjadi kendala. Kondisi ekonomi yang memaksa para peternak itu gagal melanjutkan usahanya karena mereka terlilit persoalan ekonomi. Misalnya dari 10 ekor yang dibagikan, ternyata hanya 5 ekor saja yang selamat dan selebihnya terjual atau dengan alasan mati dan dicuri orang. 

Belum lagi masyarakat lebih mengidolakan bercocok tanam padi dan singkong daripada menanam rumput untuk ternak-ternak mereka. Sikap konvensional inilah yang melemahkan program sapi nasional yang dicanangkan oleh presiden-presiden sebelumnya termasuk presiden Jokowi tentunya. 

Harga daging sapi mahal, siapa yang peduli? 

Sampai sejauh ini, hingga bulan Ramadhan tiba, harga daging masih tetap dikisaran Rp 100.000 - Rp 130.000, meskipun daging impor dan operasi pasar sudah dilakukan. Hal ini wajar terjadi karena meskipun import daging sudah dilakukan, ternyata pemenuhan kebutuhan daging masih jauh dari kenyataan. Selain itu dengan harga mahal itu, hanyalah masyarakat menengah ke atas yang bisa menikmatinya. 

Belum lagi adanya operasi pasar, ternyata yang bisa membeli hanyalah kaum kaya yang mereka mendapatkan kesempatan lebih untuk memborong karena harganya sudah diturunkan. Meskipun esoknya lagi harga cenderung naik, yang memiliki cukup uang tetap saja bisa membeli. Sedangkan masyarakat bawah, mereka hanya bisa menonton dari kejauhan tanpa bisa menikmati subsidi pemerintah yang dikucurkan untuk menekan harga daging. Dan sayang sekali meskipun ada juga daging sapi yang lebih murah, ternyata banyak oknum pedagang nakal yang mencampurnya dengan daging babi. Sungguh miris. 

Seperti diberitakan oleh Republika edisi 27 Mei 2016, harga di Lampung kisaran Rp 100.000 - Rp 125.000 perkilogramnya. Sedangkan harga itu belum tertekan dengan adanya operasi pasar. Meskipun adanya operasi pasar, ternyata harga di Lampung juga saat ini masih tinggi. Seperti diberitakan oleh Antara, harga per 17 Juni kisaran antara Rp 110.000 - Rp 120.000 perkilogram. Berarti sampai sejauh ini pemerintah masih sulit menekan harga daging sapi skala nasional. Sedangkan harga telur ayam saja sudah mencapai 20.000 perkilogram tentu harga ini masih sangat jauh dari harapan masyarakat pada umumnya. 

Harga daging turun, masyarakat bawah tetap saja tidak bisa membeli, dan siapa yang diuntungkan? Tentu mereka yang memiliki uang cukup untuk membelinya yaitu kaum kaya dan para pedagang yang sudah mempersiapkan modal jauh-jauh hari agar bisa mendapatkan keuntungan yang lebih. Pemerintah selalu menekan harga daging demi memenuhi harapan rakyat, tapi tetap saja harganya cenderung melambung tinggi. Dan hanya masyarakat menengah ke atas yang mampu membelinya. 

Meningkatkan daya beli ikan laut sebagai alternatif pengganti daging sapi 

Beberapa waktu lalu saya membeli sekantung kecil berisi setengah kiloan ikan bandeng seharga Rp 7.500. Harga itu lumayan murah untuk dua kali mempersiapkan santap berbuka puasa. Dan sepertinya jika harga di tingkat pengecer untuk ukuran perkilogram seharga Rp 15.000 tentu harganya masih terjangkau dan lebih mudah dibandingkan harga telur yang bisa mencapai 20.000 / kg. Harga ikan itu sudah ada di tangan pengecer. Mungkin jika di pasar jauh lebih murah kisaran Rp 10.000 - Rp 12.000 perkilogram. 

Melihat harga ikan yang begitu murah tentunya bisa menjadi alternatif masyarakat bawah untuk memenuhi kebutuhan gizi hariannya. Tak perlu memikirkan berapa harga daging sapi karena justru membuat naik darah, lantaran masyarakat bawah tetap saja tak mampu membeli. Namun bagaimana menyediakan ikan laut segar yang mudah dengan kandungan gizi yang tak kalah dengan daging justru menjadi alternatif yang lebih baik. Dan yang lebih penting, mengubah imej masyarakat bahwa memakan ikan itu tak lebih buruk dari memakan daging jika dilihat dari nilai gizinya. 

Dan yang semestinya digaris bawahi bahwa amat tidak penting banget media dan pemerintah meributkan harga daging yang mahal, ketika ikan laut di tanah air sangat melimpah. Jika ikan laut itu disubsidi dibandingkan mensubsidi daging sapi maka masyarakat Indonesia akan menikmati ikan laut yang segar dengan harga yang murah. Salam

Selasa, 06 Oktober 2015

Beras Raskin, Ketika Kaum Berada Mengaku Miskin


Beberapa waktu lalu, sembari berbincang-bincang dengan salah satu tokoh masyarakat di kampung, terucap sebuah kesan yang cukup menggelitik bagi fikiran dan hati saya terkait beras raskin. Apa itu? ternyata jumlah masyarakat penerima beras raskin selalu bertambah dan tak berkurang selama bertahun-tahun. Sang tokoh inipun bercerita bahwa ternyata penerima beras raskin yang dahulunya memang benar-benar miskin, ternyata ketika saat ini kehidupan mereka sudah mapan, status mereka tetap tidak berubah. Yakni masih saja dilabeli miskin dan menerima beras rangsum dari pemerintah ini.
Tentu saja, kesan yang saya tangkap ini menyiratkan bahwa selama ini pemerintah dalam menggelontorkan dana bagi penerima beras raskin, ternyata sudah salah sasaran. Masyarakat yang dahulunya amat pantas menerima beras bagi kaum tak punya ini sampai saat ini masih saja menjadi pelanggan. Padahal ketika di crossceck mereka yang "mengaku" sebagai kaum miskin sejatinya sudah mengalami perubahan status ekonomi. Meskipun tidak tergolong kaya, tapi kehidupan mereka sudah berubah. Dari yang tadinya berubah bambu, kini rumah mereka sudah berdinding bata dan sudah berkeramik. Adapula di antara mereka yang sudah memiliki kendaraan pribadi bahkan memiliki mobil. Tapi sayang sekali status miskin ini tak juga dikoreksi. Padahal ketika kebutuhan akan bantuan beras rakyat miskin ini tidak dikoreksi, maka sudah dapat dipastikan pengeluaran negara (APBN) bagi pemenuhan permintaan beras tak tepat sasaran. Rakyat yang sejatinya seharusnya tidak "memiskinkan" diri, ternyata masih saja mengaku-ngaku miskin lantaran mendapatkan jatah beras beberapa kilogram ini.
Sebuah kontra diksi dan kontra produktif terkait kebijakan pemerintah yang hendak mengentaskan kemiskinan dan mengurangi beban negara terkait penerima "beras jatah" ini.
Hal ini tentu tidak sejalan dengan pernyataan Menko Kesra bahwa
"Tindak lanjut dari rekomendasi KPK, maka, pemutakhiran Basis Data Terpadu oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) merupakan upaya penajaman sasaran program. Kita menyadari bahwa ketepatan sasaran adalah faktor kunci keberhasilan program penanggulangan kemiskinan. Keyakinan ini memerlukan itikad dan dukungan seluruh pelaksana di pusat dan daerah dari mulai penetapan data sasaran dan pengawasan pada saat penyaluran. Sejalan dengan upaya penajaman sasaran, Pedoman Umum (Pedum) Raskin ini hendaknya menjadi acuan dalam pelaksanaan penyaluran Raskin tahun 2015" (Kata Pengantar Menko Kesra dalam Pedoman Umum Raskin 2015)
Pemerintah sejatinya dan semestinya sudah semakin ringan dengan meningkatnya status sosial masyarakat, ternyata sejauh ini masih saja dibebani dengan pengeluaran yang semestinya diperhitungkan lagi dan harus diarahkan pada hal yang lebih penting dari itu semua. Bolehlah beras raskin tetap diberikan, tapi semestinya data-data penerima jatah pun harus di-update ulang sehingga tidak ada kesan menggunakan uang negara pada hal yang tidak sepatutnya.

Tumpukan beras Raskin yang siap disalurkan (beritadaerah.com)
Ada yang salah dalam hal ini. Dan setelah saya telusuri semakin dalam ternyata ada beberapa point mengapa kebutuhan beras raskin tak juga menurun?
Pertama, selaku pelaksana kebijakan di tingkat daerah, kelurahan selama ini kurang jeli ketika berhadapan dengan data-data kemkinan di daerahnya. Hal ini disebabkan karena ujung tombak data yang sejatinya merupakan hasil evaluasi di tingkat RW dan RT masih saja belum diperbaruhi secara optimal, Dampaknya orang-orang yang beberapa tahun lalu memang dimasukkan dalam kategori miskin, hingga sepuluh tahun kemudian ternyata masih saja dianggap miskin. Padahal kehidupan mereka sudah berubah. Ada yang awalnya berumah geribik, saat ini hampir 90% rumah-rumah mereka berdinding batu bata. Belum lagi kepemilikan kendaraan yang menunjukkan status sosial masyarakat ini pun tidak termasuk dalam skala penilaian, apakah mereka pantas disebut miskin, menengah atau kaya.
Fakta inilah yang menjadi pemicu awal, data-data yang semestinya diperbaiki dan disaring kembali siapa saja yang berhak menerima ternyata masih saja sulit diperoleh data yang valid. Kembali pada lemahnya kontrol masyarakat dan aparat desa dalam melakukan update data.
Kedua, para aparat desa, sampai sejauh ini masih saja mengandalkan rasa tahu sama tahu dan sama rata. Mereka beranggapan bahwa ketika satu keluarga menerima beras raskin, maka sepatutnya semua masyarakat bisa merasakannya. Padahal semestinya hanyalah orang-orang yang miskin dan berhak mendapatkan saja yang masuk ketegori penerima. Kadang tak bisa dipungkiri, ada tekanan publik yang mengharuskan aparat di tingkat desa tak mau ambil pusing, daripada dicecar masyarakat karena dianggap tak adil, mereka lebih memilih menuruti apa mau masyarakat.
Jika kebijakan untuk rakyat miskin ternyata bermodalkan sama rasa, tentu efeknya kurang baik. Masyarakat yang sejatinya sudah harus menolak beras bantuan ini ternyata masih saja merasa berhak menerima. Mereka tak berpikir bahwa ada yang lebih membutuhkan bahan pangan pokok ini dibandingkan dirinya yang sudah mampu.
Tekanan publik yang "haus" akan beras bantuan juga menjadi pemicu kenapa kebijakan beras raskin ini tidak juga tepat sasaran.
Ketiga, BPS selaku basis data pokok terkait data kependudukan dan ekonomi masyarakat juga sampai saat ini masih jauh panggang dari api. Ada ketidak singkronan antara data yang dikeluarkan dengan fakta di lapangan. Sehingga dampaknya alokasi pengeluaran beras yang diajukan kepada pemerintah pun masih memerlukan evaluasi lagi yang lebih menyeluruh.
Jika stake holder terkait kebijakan beras raskin ternyata masih mengeluarkan data-data yang "kurang" valid, semestinya ditinjau ulang dan dilakukan editing agar permintaan kebutuhan akan beras bagi warga kurang mampu ini tidak tepat sasaran.
Karena sejalan dengan tujuan dari beras raskin adalah mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan beras. Sehingga data per tahun 2015 ini sejumlah 5.530.897 RTS benar-benar akurat. Dan tidak ada lagi masyarakat yang tidak layak menerima dengan mudahnya menerima beras ini dengan melupakan hak-hak kaum miskin lainnya.
Dampaknya, jika data pengeluaran 15 kg tiap bulan untuk RTS yang menjadi sasaran beras miskin ini benar-benar valid, maka akan banyak program pemerintah yang bisa dibantu dan mendapatkan alokasi dana yang lebih penting daripada memenuhi kebutuhan masyarakat yang sebenarnya mampu secara finansial tapi tetap saja merasa miskin.
Salam

Senin, 20 April 2015

Ironi Pemblokiran Situs MMM dan Kasus Pembobolan Bank

Kominfo Resmi Blokir Situs MMM Besutan Mavrodi
Situs MMM yang diblokir oleh Kominfo (economy,okezone.com)
Dunia bisnis keuangan sampai saat ini belum juga menuai kepuasan para pelakunya, dus bisnis perbankan yang notabene sebagai usaha yang paling aman menurut OJK, ternyata sampai sejauh ini masih jauh panggan dari api. Para nasabah yang semula menggunakan jasa penyimpanan uang di bank, kini kembali dikejutkan oleh dibobolnya tiga bank yang bernilai milyaran rupiah. Apa kata nasabah melihat fenomena aneh ini? Tentu tak jauh-jauh dari kesan KECEWA, meskipun saya bukanlah seorang nasabah dan bankir, tapi melihat fenomena ini saya pun jadi ketar-ketir ketiak ingin menyimpan uang di bank.

Apa boleh di kata, uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dan di simpan (baca: dititipkan) ternyata harus hangus hilang entah kemana. Apa nggak kecewa tuh para nasabahnya. Tak hanya nasabah yang kecewa, pengusaha perbankan sendiri akan gigit jari. Kenapa keamanan perbankan bisa begini? (ngelus dada)

Meskipun kejahatan perbankan sudah menjadi kejahatan luar biasa, lantaran uang yang seharusnya bisa dimanfaakan pada hal yang berguna bagi pemiliknya, harus hilang secepat kilat tanpa tahu siapa pelakunya. Hacker kembali menjadi kambing hitam, bahwa kejahatan ini semata-mata kejahatan mereka. Padahal secara hak, para nasabah selaku konsumen nasabah, mereka berhak mendapatkan kepastian keamanan uang mereka. Tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Karena mereka sudah membayar biaya (nitip) dengan sejumlah uang perbulan. Belum lagi setiap transaksi via ATM mereka pun harus membayar minimal tiga ribu rupiah.

Apakah perbankan bisa mengelak, bahwa kesalahan ini semata-mata karena kesalahan Hacker?, Atau mencari kambing hitam dengan alasan bahwa pihak nasabah mendownload aplikasi perbankan yang diduga palsu demi ingin mencuri data-data nasabah? Alasan klise yang selalu saja diucapkan oleh para bankir, mereka ingin cuci tangan seolah-olah semua karena “kebodohan” nasabah. Mendownload dan menggunakan aplikasi palsu. Padahal tak semua nasabah memahami mana yang asli dan mana yang palsu.

Yang aneh sekali, meskipun bank-bank kita selalu dibobol maling, nasabah selalu mendapatkan getahnya. Bahasaya bodo nya ialah “uang saya disimpan di bank, ketika ilang kog saya lagi yang disalahin? Kepiyo To?” Boleh saja pihak bank berkilah itu murni kesalahan nasabah, karena bisa dengan mudah menyerahkan data-datanya, tapi bagi seorang konsumen, apalagi masyarakat awam dari kampung, mereka akan terperanjat jika dituduh melakukan kesalahan karena menggunakan aplikasi tak jelas.

Tapi sayang sekali, meskipun pembobolan bank telah terjadi, direktur OJK menyatakan tidak tahu beritanya. Kenapa mereka yang memiliki otoritas terkait keamanan uang nasabah bank kog tiba-tiba merasa tak tahu apa-apa? Apakah ingin cuci tangan juga, lantaran berkali-kali mereka mengatakan bahwa uang yang disimpan di bank akan aman. Dan setiap kehilangan tanpa diketahui akan diganti oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Terus gimana kalau yang punya uang gak bisa ngurus? Ditambah lagi uangnya sudah hilang, dia justru disalahkan.

Pemblokiran Situs MMM dan Ironi Permbankan di Indonesia

Pemerintah menganggap bahwa usaha arisan MMM, atau bahasa medianya Manusia Menyumbang Manusia itu dianggap ilegal, tak sah, tak jelas dan identik merugikan para pengikutnya. Bahkan sikap tegas tersebut dilontarkan karena begitu banyak pengikut arisan MMM ini yang merasa kehilangan uangnya. Akhirnya MMM pun ditutup dan dianggap terlarang. Semua situsnya diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Sudah jelas, bahwa MMM memang berpotensi merugikan pengikutnya. Bagaimana tidak, ketika sudah terlibat bisnis MMM ini, para membernya dengan mudahnya mentransfer sejumlah uang melalui mekanisme perbankan tanpa mengetahui siapa yang dikirimi uang, manusia, monyet atau justru dedemit? Mereka mengirim uang yang jumlahnya jutaan rupiah kepada sosok ghaib, dengan alasan lagi bahwa mereka harus menyumbang demi mendapatkan sumbangan kembali. Aneh, mereka menyumbang orang yang semestinya ikhlas, ternyata berharap uang yang didapatkan lebih besar. Iblis pun akan tertawa melihat prilaku arisan seperti ini. Menyumbang satu juta inginnya dapat kiriman lima juta, sedangkan dipihak lain uang yang sudah disetorkan tak juga kembali. Pantas saja para membernya banyak yang demo, protes kenapa uang yang ditransfer berharap benefif tak juga membuahkan hasil.

Maka amat wajar pula bisnis mak jelas ala MMM ini patut dipertanyakan dan patut dihentikan keberadaannya. Karena benar-benar membangkrutkan orang banyak. Mereka menipu dengan mendapatkan sumbangan (terpaksa) dari membernya tanpa embel-embel apapun. Kalau beruntung ya uangnya kembali dengan mendapatkan kiriman dari sesama member, kalau lagi apes, maka uangnya akan raib tanpa bisa minta ganti. Ketika mereka melapor pemerintah pun pemerintah tak bisa menjamin bahwa usaha ini berhak mendapatkan perlindungan secara hukum. Apalagi mendapatkan ganti, mustahil keless.

Bagaimana dengan kasus pembobolan bank? Apakah kondisinya sama saja dengan pembobolan uang nasabah a la bisnis MMM ini? Di satu sisi pihak Bank merasa uang yang mereka kelola akan aman-aman saja, tapi faktanya banyak yang bobol digondol maling. Bank mengelak dan banyak uang nasabah yang tak kembali. Situasi yang kurang lebih sama dengan apa yang dialami oleh member arisan MMM. Mereka dicuri uangnya dengan “sukarela” karena alasannya menyumbang, tapi nasabah Bank, mereka kehilangan uangnya tanpa disadari sebelumnya. Kurang lebih sama modus kehilangannya tapi teknisnya berbeda.

Dan anehnya, meskipun kasus pencurian uang nasabah ini sudah sering terjadi, ternyata OJK pun tidak memberikan warning (peringatan pada pihak bank) bahwa apa yang dialami oleh Bank adalah kelalaian. Sekali lagi alasannya karena murni kesalahan Hacker dan Nasabah yang begitu mudahnya menyerahkan data rahasianya. Kalau sudah demikian, berarti gak ada bedanya antara Bank dengan bisnis yang legal tersebut dengan Arisan MMM kan? Sama-sama berpotensi merugikan nasabahnya.

Nasib memang nasib, nasi sudah menjadi bubur. Menyimpan uang di bank kalau sedikit lama-lama habis karena kepotong administrasi, giliran banyak melayang entah kemana.

Ya sudahlah kita kembalikan pada pemerintah, apakah pemerintah akan mempertegas aturan dan hukum terkait harta nasabah yang hilang tersebut. Akan diganti atau justru pemerintah tinggal diam saja dengan apa yang terjadi. Atau lebih baik menabung saja di kaleng biskuit, ala mbak Fidiawati. hehe (maa)

Literatur:

Ketika Usaha Rias Pengantin Tradsional dilindas Riasan Modern

Hasil gambar untuk riasan pengantin jawa tempo dulu
Contoh prosesi rias pengantin tradisional
Seputar Ekonomi Di tengah pedalaman Kab. Lampung Tengah, berbatasan dengan Kab. Pesawaran, tepatnya di Kampung Sidokerto Bumiratu Nuban, perempuan uzur ini masih gagah dan ulet mengelola usaha rumahannya dalam bidang riasan pengantin. Usaha rintisan semenjak ia merajut tali pernikahan dengan suaminya yang kini sudah almarhum. Dengan bermodal warisan dari ibunya yang kini juga sudah tiada, ia mencoba peruntungan usaha yang sejatinya akan selalu dibutuhkan oleh lingkungannya. Tentu saja usaha riasan akan selalu diburu oleh para orang tua yang hendak menikahkan putra putrinya, dan juga menjadi berburu para calon suami istri. Sebab dengan bantuan ahli rias ini, kecantikan wajah kedua mempelai semakin berkilau. Yang semula sedikit gelap, bisa dipermak menjadi semakin ayu dan menggoda. Tentu menggoda perhatian suaminya dan para tamu undangan yang hadir pada pesta pernikahan tentunya.

Ibu Fatimah, diusianya yang ke-60 tahun, sudah dibilang sudah usia tak lagi muda. Ia sudah puluhan tahun mengelola usaha ini ternyata masih saja memegang teguh konsep adat ketimuran dengan menjaga konsep pernikahan bagi calon mempelai. Dan bersyukur pada saat itu usaha ibu ini sangat digemari pelanggannya lantaran make overnya cukup apik, cara meriasnya juga tak kalah dengan riasan-riasan ahli tata rias yang sudah kondang mengingat kejelian dalam mengatur pewarnaan. Selain itu, karena riasannya yang cukup apik, ternyata ongkos rias dan sewa pakaian pengantin cukup terjangkau menurut kantong orang-orang di sekitarnya.

Motif riasan yang ditawarkan disesuaikan dengan permintaan. Seperti misalnya riasan pengantin ala Jawa, Sunda, Palembang, Lampung dan lain-lain yang tentu harga yang ditawarkan sangat murah.

Karena murahnya harga yang ditawarkan, tak hanya warga di sekitar yang membutuhkan jasanya, mengingat betapa kondangnya nama suami kala itu, pesanan rias pengantin bisa mencapai berkilo-kilo meter perjalanan. Demi memenuhi permintaan pelanggan. Tentu semakin jauh pemesannya dan variasi permintaan si costumer, maka hargapun akan berbeda. Tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak.

Namun demikian, meskipun usaha riasan ini dibilang kelas kampung, ternyata bisa menjadi salah satu icon usaha rias di Kecamatan Bumiratu Nuban dan mampu mengumpulkan pundi-pundi uang demi mencari model-model pakaian terbaru yang disiapkan untuk para calon pengantin.

Itulah harapannya, gak muluk-muluk, dengan usaha yang digelutinya puluhan tahun  itu bisa berkembang dan bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga serta kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Kira-kira harapan sederhananya demikian.

Tapi itu dahulu, ketika riasan tradisional, yang saya sebut dengan riasan kampung masih jaya-jayanya. Ketika dengan sentuhan tangan trampil beliau mampu meraih penghasilan 200 sd. 500 ribuan saja ternyata tak mengurangi omset bulanan kala itu. Hal itu dikarenakan masih sedikitnya usaha rias pengantin. Berbeda sekali dengan saat ini hampir di pelosok kampung rias penganting bertumbuh seperti cendawan di musim hujan. Mereka menawarkan beraneka rupa dan harga serta pelayanan rias yang bersaing. Bahkan saking bersaingnya, adakalanya di antara perias pengantin ini rela merogok kocek yang dalam dengan menyewa pakaian pengantin yang lumayan mahal, demi mendapatkan model terbaru dan disukai masyarakat di era kekinian.

Coba bandingkan dengan usaha rias pengantin saat ini, si perias pengantin biasanya tak hanya memenuhi jasa riasan wajah dan pakaian saja, bahkan sudah menguasai hampir semua kebutuhan pesta perkawinan. Seperti persiapan tarub, barang pecah belah, sewa organ tunggal atau hiburan lainnya, sewa tarub dan panggung, mesin genset, dan pakaian perias tarub yang disediakan oleh si perias tersebut. Bahkan untuk urusan undangan juga di back up oleh satu orang dengan menggandeng kerjasama dengan pengusaha lainnya. Sebuah usaha tata rias yang cukup menyita modal tapi keuntungan maksimal.

Itulah usaha rias pengantin saat ini, mereka berani mengeluarkan modal yang cukup besar demi memenuhi kebutuhan model riasan penganitin saat ini. Tak hanya gaya ala ketimuran (keindonesiaan) karena mereka juga menggunakan motif eropa atau amerika yang dianggap lebih modern.
Hasil gambar untuk riasan pengantin modern
Riasan modern
Kondisi modernisasi usaha rias pengantin ternyata turut memicu melorotnya usaha riasan Bu Fatimah, konsumen yang awalnya menjadi pelanggan tetap dan selalu memesan tatkala keluarganya hendak melangsungkan perkawinan, kini terpaksa diambil pengusaha lain. Ia hanya bisa pasrah dengan keadaan, lantaran usaha untuk mengembangkan usaha rias pengantin yang digelutinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bisa mencapai puluhan juta rupiah, apalagi konsep yang tawarkan bermodel ala kebarat-baratan atau mengadopsi ala Eropa dan Amerika. Tentu biaya yang dibutuhkan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Bahkan saat ini riasan pengantin banyak pula yang mengadobsi model pernikahan Tionghoa yang juga pernak-perniknya yang cukup malah.

Karena ketidak mampuan memenuhi kebutuhan modernisasi riasan pengantin ternyata juga menjadi pemicu bagaimana sulitnya bersaing dengan para pengusaha dengan permodalan yang mencukupi. Ditambah lagi karena usia yang semakin lama semakin bertambah yang juga menjadi pemicu menurunnya kesiapan dirinya dalam memenuhi permintaan. Bukan permintaan menurun, tapi kemampuan memenuhi pesanan itu yang menjadi pemicunya. Hal itu disebabkan karena usia yang tak lagi muda. Selain itu anak-anak yang sedianya bisa menjadi penerus usaha rias pengantin tradisional ini ternyata berbelok arah. Mereka enggan meneruskan usaha orang tuanya. Sudah dapat dipastikan secara perlahan usaha ini akan gulung tikar.

Apalagi saat ini, riasan pengantin daerah yang tengah boomingnya nilai sewanya juga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sebanding dengan harga yang ditawarkan berdasarkan kelas-kelasnya.

Meskipun usaha riasan pengantin ini beresiko bangkrut dan sepi pelanggan, tapi tak ada kata berhenti dan menyerah dengan keadaan. Dan meski di usia tak lagi muda, ia tetap meneruskan usahanya ini di sela-sela usaha warung kecilnya. Dengan semangat gotong royong”membantu” ia tetap memenuhi permintaan calon pengantin baru dengan harga yang tak sesuai dengan nilai rupiah saat ini.

Namun yang pasti, harapan beliau, ia tak melulu hanya mengejar pendapatan dari rias pengantin ini. Akan tetapi tekad yang kuat ingin melestarikan budaya leluhur, budaya tradisional ketimuran ala rias pengantin ini hingga ajal menjemput. (maa)

(maa)

Kamis, 25 Desember 2014

Waspada BMT Berkedok Investasi Abal-abal Menipu Nasabahnya

SeputarEkonomi. Siapa yang tak ingin mendapatkan keuntungan besar dari usaha yang dijalankan? Tentu setiap orang menginginkannya bukan? Tak hanya kalangan perlente, kalangan masyarakat yang hidup sederhana pun menginginkan kehidupan yang semakin meningkat taraf ekonominya. 

Dengan bermacam-macam impian yang ingin diraih, di antara pemilik modal tersebut ingin mendapatkan untung ketika uangnya diinvestasikan. Alih-alih mendapatkan keuntungan yang besar, ternyata uang yang ditabung dan diinvestasikan sedikit demi sedikit mesti musnah, kandas dibawa kabur si pemilik usaha.

Seperti yang dikutip dari lampung post edisi 22 Desember 2014. Sejumlah nasabah BMT Bima Sakti Mandiri menelan kekecewaan lantaran uang yang diinvestasikan musnah dibawa kabur pengelolanya. Tak ayal, akumulasi uang sedianya sebesar 335 juta lebih dibawa oleh manajer dan pimpinan BMT tersebut.

Pada awalnya BMT Bima Sakti Mandiri tidak menunjukkan gelagat mencurigakan. Karena sejak berdirinya cukup membuat masyarakat setempat percaya. Tentu saja karena nama lembaga keuangan tersebut berjuluk BMT (Baitul Maal Wa  Tamwil) Lembaga keuangan syariah, yang notabene dikelola berdasarkan syariah Islam. BMT yang didirikan di daerah Palas Lampung Selatan ini mampu menjaring nasabah yang cukup banyak. Bahkan dari sumber yang sama anggotanya tidak hanya berasal dari Palas semata, akan tetapi berasal beberapa daerah di sekitarnya.

Tapi lagi-lagi, sebuah lembaga dengan kedok apapun tidak akan menjamin keamanan nasabah. Apalagi jika jenis usaha dan bagi hasilnya tidak masuk di akal. Semua menjanjikan keuntungan yang besar tapi justru menjerumuskan nasabahnya lantaran tidak sesuai dengan aturan pengelolaan keuangan yang berlaku menurt aturan BMT.

Adapun siasat agar tidak tertipu investasi bodong silahkan buka link ini.


Sabtu, 08 November 2014

Hari Pangan Sedunia, Momentum Membangun Kedaulatan Pangan Indonesia



Beberapa pekan yang lalu, bertepatan 16 Oktober dirayakannya hari pangan sedunia. Di mana pada saat itu didirikannya organisasi pangan dan pertanian, Food and Agriculture Organization ( FAO) dan pada saat itulah dunia merayakan momentum keberhasilannya menciptakan sumber pangan bagi umat manusia. Tapi, perayaan tersebut ternyata tidak melulu dinikmati oleh semua orang.

Alasannya pokok adalah karena saat inipun masih ada saja bangsa-bangsa yang dilanda kelaparan, bahkan berada pada garis kemiskinan yang luar biasa. Seperti di negara bagian Afrika Selatan, yang setiap harinya kesulitan mencari sumber makanan. Tak terkecuali negara Indonesia yang “katanya” tanah kita tanah surga di mana semua orang bisa bercocok tanam ternyata tidak sedikit yang mengalami busung lapar.

Tidak sedikit warga negara ini yang tinggal dalam gubuk yang reot, tak layak dan menikmati makanan sehari-hari dari hasil hutan yang tentu saja jauh dari kata lezat seperti apa yang dialami sebagian masyarakat Papua. Adapula yang musti berebut ketika pembagian daging kurban lantaran tidak biasa menikmati makanan yang mahal. Tapi itulah bangsaku, meski sudah 68 tahun merdeka ternyata rakyatnya masih saja belum merdeka, mereka harus tetap berjuang, berperang dari laparnya perut dan hausnya tenggorokan karena sulitnya mencari bahan makanan dan sumber air yang bersih.

Jika menelaah begitu banyaknya sumber pangan di Indonesia, Indonesia memiliki sumber daya alam yang sepertinya tidak terbatas karena dapat menghasilkan bahan makanan, tidak hanya buminya yang subur akan tetapi sumber daya manusianya yang dapat menghasilkan menu masakan yang diakui tingkat dunia. Sebut saja sate, baso, nasi goreng yang telah merajai lidah-lidah para pelancong bahkan masyarakat mancanegara. Hal ini sebenarnya sebagai basis yang memungkinkan Indonesia dapat memenuhi kebutuhan bahan pangan dari yang bertaraf tradisional sampai yang berkelas internasional.

Tapi apalah daya, meski Indonesia tanahnya luas dan subur, di dalamnya dipenuhi tanaman-tanaman yang bermanfaat untuk semua orang namun ternyata di dalamnya masih banyak masyarakat kita yang merasakan kelaparan, sulitnya menikmati gurihnya nasi beras, lezatnya daging, manisnya buah-buahan dan segarnya susu yang seharusnya dapat dihasilkan dari tanah sendiri. Akan tetapi justru kita hanya bisa menikmati hasil negara lain tanpa bisa menanam, kita hanya bisa membeli tanpa bisa memproduksi. Imbasnya meskipun negara ini dijuluki loh jinawi ternyata tidak berlaku bagi penduduk negeri ini.

Bahan pangan kita peroleh dari import, termasuk hampir semua jenis buah-buahan, sayuran, bahkan beraspun yang dahulunya kita dapat berswasembada saat ini tinggal gigit jari karena sebagian tanah pertaniannya sudah menjadi gedung-gedung bertingkat, berganti mall yang ternyata hanya sekelompok orang saja yang dapat menikmatinya lantaran mahalnya harga-harga pembelian.

Meskipun kita dapat menghasilkan sawit sebagai bahan baku minyak makan, ternyata kitapun menikmati yang kelas dua selebihnya dijual ke negara lain. Laut kita menghasilkan ikan yang berkualitas tapi sebagian besar dijual ke luar negeri sedangkan kita hanya menikmati ikan asin. Sebut saja ikan tuna dengan gizi yang tinggi saat ini menjadi bahan makanan bagi kalangan elit.

Sungguh ironi di negara yang sumber pangannya merupakan separuh dari sumber pangan dunia malah sekarang harus kehilangan mata pencahariannya dan  penghasilannya lantaran tidak mampu menghasilkan bahan makanan dengan kualitas terbaik tapi justru mengandalkan produk import yang terkadang berkualitas rendah tapi mahal harganya.

Memperingati hari pangan sedunia, hakekatnya sebagai momentum agar bangsa Indonesia dapat menciptakan sumber pangan, paling tidak menjadi pemasok bahan pangan bagi warganya tanpa bergantung dari bangsa lain. Pada hari ini pula, sebagai langkah untuk menciptakan kreasi baru makanan rakyat berkelas dunia.

Hari pangan sedunia hakekatnya membangun kesadaran bangsa ini agar bangun dari mimpi dan beranjak dari tidurnya untuk kembali berbuat terhadap ketersediaan pangan nasional agar tidak ada lagi bagian bangsa ini yang kelaparan dan terkena busung lapar akibat kekurangan gizi dan bahan  makanan yang sehat.

Hari Pangan Sedunia (16 Oktober)

Rabu, 25 Juni 2014

Apa Program Capres-cawapres 2014 Terkait Tingginya Pengangguran di Indonesia?

14035863941326102360
Ilustrasi : Pencari Kerja




Kebutuhan lapangan pekerjaan masih menjadi persoalan yang terus saja menghantui bangsa Indonesia. Karena melihat tingginya jumlah lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang sampai saat ini jumlahnya mencapai jutaan orang. Jika berdasarkan catatan Bank Dunia, tahun 2020 Indonesia membutuhkan lapangan kerja baru bagi sekitaran 15 Juta orang. Tempo.co

Bahkan menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO) jumlah pengangguran berusia 15-24 tahun 2012 mencapai 75 juta orang. Sedangkan di tahun 2013 ini saja pengangguran yang berusia 19-29 tahun mencapai 4,9 juta orang dari total 7,4 juta penganggur. Kompas.com

Melengkapi data tersebut, BPS Pusat merilis jumlah perkiraan pengangguran sekitar 7,15% penduduk usia 15 tahun ke atas. Sudah dapat dipastikan bahwa usia-usia tersebut adalah usia sekolah. Sehingga dapat dimungkinkan jika jumlah penganggur saat di tahun 2014 saja sebesar 7,15%, menunjukkan bahwa kebutuhan akan tenaga kerja masih cukup tinggi. Meskipun BPS merilis telah terjadi penurunan yang cukup signifikan jika dilihat tahun 2013 sebesar 7,41%

Data tersebut merupakan data perkiraan yang boleh jadi justru jumlah tersebut lebih banyak di sebabkan karena tingkat kesalahan pendataan pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi. Bahkan jika pendataan tersebut mendekati benar, asumsinya di antara para pekerja yang berpenghasilan memadai masih jauh dari rata-rata kebutuhan hidup domestik.

Apalagi menurut BPS sendiri data pekerja yang ada di Indonesia justru didominasi oleh pekerja-pekerja dengan pendidikan usia SD sebesar 55,31% sangat jauh sekali jika melihat tenaga kerja pendidikan tinggi yang hanya sekitar 8,85% jika dihitung dari keseluruhan penduduk usia  15 tahun ke atas yang saat ini sudah bekerja. Yang lebih miris lagi ternyata jumlah pengangguran terbuka justru didominasi penduduk lulusan perguruan tinggi (universitas) sebesar 4,31 % lebih tinggi jika dibandingkan jumlah pengangguran terbuka lulusan SD yang hanya sekitar 3,69%.

Hal tersebut dibuktikan, meskipun pemerintah menganggap jumlah pengangguran mengalami penurunan sebesar 5,7% (detik.finance) akan tetapi untuk jumlah pendapatan perkapita nasional masih sangat rendah. Secara kasat mata saja dapat dibuktikan, saat ini saja aturan upah pekerja (UMP) kurang lebih sebesar Rp 2,441,300 untuk wilayah DKI Jakarta sedangkan untuk Yogyakarta kisaran Rp,910.000. Sumber

Sehingga jika diambil rata-rata upah minimum propinsi seluruh Indonesia hanya sekitar  Rp 1.675.650 Sedangkan tidak semua perusahaan mengikuti aturan pemerintah terkait tingginya upah yang harus dibayarkan kepada pekerja.

Kondisi tersebut, memberikan indikasi bahwa meskipun tingkat pengangguran menurun, tapi pendapatan ekonomi yang layak masih jauh dari kebutuhan pokok masyarakat. Selain itu melihat asumsi tingginya kebutuhan lapangan kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja yang meningkat tajam di tahun 2020 sebesar 15 juta orang maka mau tidak mau pemerintah harus berusaha membuka lapangan kerja baru agar para tenaga kerja baru tersebut dapat terserap dalam dunia kerja.

Namun, apakah pemerintah mampu memenuhi kebutuhan lapangan kerja, jika ternyata tingkat pendidikan sendiri masih jauh dari kebutuhan pasar, terutama pada sektor-sektor pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan yang diikuti. Melihat perusahaan-perusahaan saat ini menuntut para pekerjanya adalah pekerja-pekerja yang tangguh dengan profesionalisme yang tinggi. Dengan kata lain, semakin banyak lulusan SMK ataupun PT akan berbanding lurus terhadap kesiapan memasuki dunia kerja apabila para lulusan tersebut benar-benar siap kerja.

Apalagi saat ini yang mestinya digerakkan adalah lapangan kerja kreatif yang mampu mengangkat kemandirian rakyat. Karena teramat sulit (walaupun bukan tidak mungkin) menampung keseluruhan pengangguran terbuka yang justru pengangguran dengan pendidikan yang masih rendah, sebagaimana paparan di atas.

Bagaimana Visi Capres-cawapres untuk menyelesaikan persoalan pengangguran?

Melihat beberapa kali sesi debat yang dilakukan masing-masing cawapres, memang belum secara spesifik memaparkan program yang benar-benar menyentuh persoalan pengangguran dan membengkaknya jumlah pengangguran jika melihat jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini.
Apalagi paparan yang cukup bisa ditangkap memang masing-masing capres menghendaki rakyatnya sejahtera. Baik dengan menciptakan lapangan pekerjaan atau justru menciptakan pekerja-pekerja kreatif yang sedikit banyak mengurangi beban negara dalam memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan.

Persoalannya adalah seberapa besarkah kemampuan pemerintah menarik inverstor dan pengusaha manufaktur untuk mendirikan perusahaannya di Indonesia? Apalagi jika melihat profesionalisme tenaga kerja di Indonesia masih jauh dari negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Singapura maupun Thailand. Wajar saat ini perusahaan-perusahaan manufaktur banyak yang melakukan produksinya di negara-negara  tersebut. Tentu saja semua berdasarkan tingginya angka tenaga kerja profesional yang layak pakai dan upah kerja yang tergolong murah. Sebagaimana China yang menjadi pusat perusahaan-perusahaan manufaktur baik dari Korea, Jepang maupun Amerika. Khususnya perusahaan perakitan telepon genggam dan kendaraan pribadi maupun pembuatan suku cadangnya.

Sehingga sepatutnya capres-cawapres dalam debat tersebut lebih memproyeksikan pembukaan lapangan kerja baru yang harus menampung jumlah tenaga kerja menganggur . Sebagaimana keterangan Muhaimin Iskandar selaku Menakertrans jumlah pengangguran tahun 2014 ini sebesar 7,24 juta orang. Paling tidak jika penduduk pengangguran sebesar itu membutuhkan 1186 perusahaan manufaktur agar mampu menyerap semua tenaga kerja produktif di Indonesia jika tiap perusahaan mempekerjakan sejumlah 6100 orang seperti halnya jumlah pekerja di PT Unilever Indonesia tahun 2012.

Namun demikian, tak kan mudah mengundang investor dan membangun perusahaan sebanyak itu, apalagi pengalaman kepemimpinan 10 tahun pemerintahan Pak SBY dan pemerintah2 yang telah lalu pun tidak mampu menyelesaikan persoalan tenaga kerja di Indonesia. Ditambah lagi jika para pekerja Indonesia menginginkan pendapatan yang layak. Sedangkan perusahaan masih bersikap protektif terhadap pendapatan mereka.

Melihat fenomena ini, amat kecil kemungkinan pemerintah mampu menyiapkan perusahaan yang mampu menampung jumlah pekerja yang jumlahnya sangat fantastis. Sehingga sejatinya capres dan cawapres terpilih adalah sosok yang benar-benar mampu menumbuhkan masyarakat kreatif dan menjadi fasilitator dan pendukung bagi tumbuhnya industri kreatif serta bagaimana memfasiltasi agar usaha tersebut dapat menghasilkan hasil karya yang bernilai tinggi serta mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun kebutuhan ekspor.

Salam