Senin, 20 April 2015

Ketika Usaha Rias Pengantin Tradsional dilindas Riasan Modern

Hasil gambar untuk riasan pengantin jawa tempo dulu
Contoh prosesi rias pengantin tradisional
Seputar Ekonomi Di tengah pedalaman Kab. Lampung Tengah, berbatasan dengan Kab. Pesawaran, tepatnya di Kampung Sidokerto Bumiratu Nuban, perempuan uzur ini masih gagah dan ulet mengelola usaha rumahannya dalam bidang riasan pengantin. Usaha rintisan semenjak ia merajut tali pernikahan dengan suaminya yang kini sudah almarhum. Dengan bermodal warisan dari ibunya yang kini juga sudah tiada, ia mencoba peruntungan usaha yang sejatinya akan selalu dibutuhkan oleh lingkungannya. Tentu saja usaha riasan akan selalu diburu oleh para orang tua yang hendak menikahkan putra putrinya, dan juga menjadi berburu para calon suami istri. Sebab dengan bantuan ahli rias ini, kecantikan wajah kedua mempelai semakin berkilau. Yang semula sedikit gelap, bisa dipermak menjadi semakin ayu dan menggoda. Tentu menggoda perhatian suaminya dan para tamu undangan yang hadir pada pesta pernikahan tentunya.

Ibu Fatimah, diusianya yang ke-60 tahun, sudah dibilang sudah usia tak lagi muda. Ia sudah puluhan tahun mengelola usaha ini ternyata masih saja memegang teguh konsep adat ketimuran dengan menjaga konsep pernikahan bagi calon mempelai. Dan bersyukur pada saat itu usaha ibu ini sangat digemari pelanggannya lantaran make overnya cukup apik, cara meriasnya juga tak kalah dengan riasan-riasan ahli tata rias yang sudah kondang mengingat kejelian dalam mengatur pewarnaan. Selain itu, karena riasannya yang cukup apik, ternyata ongkos rias dan sewa pakaian pengantin cukup terjangkau menurut kantong orang-orang di sekitarnya.

Motif riasan yang ditawarkan disesuaikan dengan permintaan. Seperti misalnya riasan pengantin ala Jawa, Sunda, Palembang, Lampung dan lain-lain yang tentu harga yang ditawarkan sangat murah.

Karena murahnya harga yang ditawarkan, tak hanya warga di sekitar yang membutuhkan jasanya, mengingat betapa kondangnya nama suami kala itu, pesanan rias pengantin bisa mencapai berkilo-kilo meter perjalanan. Demi memenuhi permintaan pelanggan. Tentu semakin jauh pemesannya dan variasi permintaan si costumer, maka hargapun akan berbeda. Tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak.

Namun demikian, meskipun usaha riasan ini dibilang kelas kampung, ternyata bisa menjadi salah satu icon usaha rias di Kecamatan Bumiratu Nuban dan mampu mengumpulkan pundi-pundi uang demi mencari model-model pakaian terbaru yang disiapkan untuk para calon pengantin.

Itulah harapannya, gak muluk-muluk, dengan usaha yang digelutinya puluhan tahun  itu bisa berkembang dan bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga serta kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Kira-kira harapan sederhananya demikian.

Tapi itu dahulu, ketika riasan tradisional, yang saya sebut dengan riasan kampung masih jaya-jayanya. Ketika dengan sentuhan tangan trampil beliau mampu meraih penghasilan 200 sd. 500 ribuan saja ternyata tak mengurangi omset bulanan kala itu. Hal itu dikarenakan masih sedikitnya usaha rias pengantin. Berbeda sekali dengan saat ini hampir di pelosok kampung rias penganting bertumbuh seperti cendawan di musim hujan. Mereka menawarkan beraneka rupa dan harga serta pelayanan rias yang bersaing. Bahkan saking bersaingnya, adakalanya di antara perias pengantin ini rela merogok kocek yang dalam dengan menyewa pakaian pengantin yang lumayan mahal, demi mendapatkan model terbaru dan disukai masyarakat di era kekinian.

Coba bandingkan dengan usaha rias pengantin saat ini, si perias pengantin biasanya tak hanya memenuhi jasa riasan wajah dan pakaian saja, bahkan sudah menguasai hampir semua kebutuhan pesta perkawinan. Seperti persiapan tarub, barang pecah belah, sewa organ tunggal atau hiburan lainnya, sewa tarub dan panggung, mesin genset, dan pakaian perias tarub yang disediakan oleh si perias tersebut. Bahkan untuk urusan undangan juga di back up oleh satu orang dengan menggandeng kerjasama dengan pengusaha lainnya. Sebuah usaha tata rias yang cukup menyita modal tapi keuntungan maksimal.

Itulah usaha rias pengantin saat ini, mereka berani mengeluarkan modal yang cukup besar demi memenuhi kebutuhan model riasan penganitin saat ini. Tak hanya gaya ala ketimuran (keindonesiaan) karena mereka juga menggunakan motif eropa atau amerika yang dianggap lebih modern.
Hasil gambar untuk riasan pengantin modern
Riasan modern
Kondisi modernisasi usaha rias pengantin ternyata turut memicu melorotnya usaha riasan Bu Fatimah, konsumen yang awalnya menjadi pelanggan tetap dan selalu memesan tatkala keluarganya hendak melangsungkan perkawinan, kini terpaksa diambil pengusaha lain. Ia hanya bisa pasrah dengan keadaan, lantaran usaha untuk mengembangkan usaha rias pengantin yang digelutinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bisa mencapai puluhan juta rupiah, apalagi konsep yang tawarkan bermodel ala kebarat-baratan atau mengadopsi ala Eropa dan Amerika. Tentu biaya yang dibutuhkan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Bahkan saat ini riasan pengantin banyak pula yang mengadobsi model pernikahan Tionghoa yang juga pernak-perniknya yang cukup malah.

Karena ketidak mampuan memenuhi kebutuhan modernisasi riasan pengantin ternyata juga menjadi pemicu bagaimana sulitnya bersaing dengan para pengusaha dengan permodalan yang mencukupi. Ditambah lagi karena usia yang semakin lama semakin bertambah yang juga menjadi pemicu menurunnya kesiapan dirinya dalam memenuhi permintaan. Bukan permintaan menurun, tapi kemampuan memenuhi pesanan itu yang menjadi pemicunya. Hal itu disebabkan karena usia yang tak lagi muda. Selain itu anak-anak yang sedianya bisa menjadi penerus usaha rias pengantin tradisional ini ternyata berbelok arah. Mereka enggan meneruskan usaha orang tuanya. Sudah dapat dipastikan secara perlahan usaha ini akan gulung tikar.

Apalagi saat ini, riasan pengantin daerah yang tengah boomingnya nilai sewanya juga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sebanding dengan harga yang ditawarkan berdasarkan kelas-kelasnya.

Meskipun usaha riasan pengantin ini beresiko bangkrut dan sepi pelanggan, tapi tak ada kata berhenti dan menyerah dengan keadaan. Dan meski di usia tak lagi muda, ia tetap meneruskan usahanya ini di sela-sela usaha warung kecilnya. Dengan semangat gotong royong”membantu” ia tetap memenuhi permintaan calon pengantin baru dengan harga yang tak sesuai dengan nilai rupiah saat ini.

Namun yang pasti, harapan beliau, ia tak melulu hanya mengejar pendapatan dari rias pengantin ini. Akan tetapi tekad yang kuat ingin melestarikan budaya leluhur, budaya tradisional ketimuran ala rias pengantin ini hingga ajal menjemput. (maa)

(maa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar