Senin, 20 April 2015

Ironi Pemblokiran Situs MMM dan Kasus Pembobolan Bank

Kominfo Resmi Blokir Situs MMM Besutan Mavrodi
Situs MMM yang diblokir oleh Kominfo (economy,okezone.com)
Dunia bisnis keuangan sampai saat ini belum juga menuai kepuasan para pelakunya, dus bisnis perbankan yang notabene sebagai usaha yang paling aman menurut OJK, ternyata sampai sejauh ini masih jauh panggan dari api. Para nasabah yang semula menggunakan jasa penyimpanan uang di bank, kini kembali dikejutkan oleh dibobolnya tiga bank yang bernilai milyaran rupiah. Apa kata nasabah melihat fenomena aneh ini? Tentu tak jauh-jauh dari kesan KECEWA, meskipun saya bukanlah seorang nasabah dan bankir, tapi melihat fenomena ini saya pun jadi ketar-ketir ketiak ingin menyimpan uang di bank.

Apa boleh di kata, uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dan di simpan (baca: dititipkan) ternyata harus hangus hilang entah kemana. Apa nggak kecewa tuh para nasabahnya. Tak hanya nasabah yang kecewa, pengusaha perbankan sendiri akan gigit jari. Kenapa keamanan perbankan bisa begini? (ngelus dada)

Meskipun kejahatan perbankan sudah menjadi kejahatan luar biasa, lantaran uang yang seharusnya bisa dimanfaakan pada hal yang berguna bagi pemiliknya, harus hilang secepat kilat tanpa tahu siapa pelakunya. Hacker kembali menjadi kambing hitam, bahwa kejahatan ini semata-mata kejahatan mereka. Padahal secara hak, para nasabah selaku konsumen nasabah, mereka berhak mendapatkan kepastian keamanan uang mereka. Tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Karena mereka sudah membayar biaya (nitip) dengan sejumlah uang perbulan. Belum lagi setiap transaksi via ATM mereka pun harus membayar minimal tiga ribu rupiah.

Apakah perbankan bisa mengelak, bahwa kesalahan ini semata-mata karena kesalahan Hacker?, Atau mencari kambing hitam dengan alasan bahwa pihak nasabah mendownload aplikasi perbankan yang diduga palsu demi ingin mencuri data-data nasabah? Alasan klise yang selalu saja diucapkan oleh para bankir, mereka ingin cuci tangan seolah-olah semua karena “kebodohan” nasabah. Mendownload dan menggunakan aplikasi palsu. Padahal tak semua nasabah memahami mana yang asli dan mana yang palsu.

Yang aneh sekali, meskipun bank-bank kita selalu dibobol maling, nasabah selalu mendapatkan getahnya. Bahasaya bodo nya ialah “uang saya disimpan di bank, ketika ilang kog saya lagi yang disalahin? Kepiyo To?” Boleh saja pihak bank berkilah itu murni kesalahan nasabah, karena bisa dengan mudah menyerahkan data-datanya, tapi bagi seorang konsumen, apalagi masyarakat awam dari kampung, mereka akan terperanjat jika dituduh melakukan kesalahan karena menggunakan aplikasi tak jelas.

Tapi sayang sekali, meskipun pembobolan bank telah terjadi, direktur OJK menyatakan tidak tahu beritanya. Kenapa mereka yang memiliki otoritas terkait keamanan uang nasabah bank kog tiba-tiba merasa tak tahu apa-apa? Apakah ingin cuci tangan juga, lantaran berkali-kali mereka mengatakan bahwa uang yang disimpan di bank akan aman. Dan setiap kehilangan tanpa diketahui akan diganti oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Terus gimana kalau yang punya uang gak bisa ngurus? Ditambah lagi uangnya sudah hilang, dia justru disalahkan.

Pemblokiran Situs MMM dan Ironi Permbankan di Indonesia

Pemerintah menganggap bahwa usaha arisan MMM, atau bahasa medianya Manusia Menyumbang Manusia itu dianggap ilegal, tak sah, tak jelas dan identik merugikan para pengikutnya. Bahkan sikap tegas tersebut dilontarkan karena begitu banyak pengikut arisan MMM ini yang merasa kehilangan uangnya. Akhirnya MMM pun ditutup dan dianggap terlarang. Semua situsnya diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Sudah jelas, bahwa MMM memang berpotensi merugikan pengikutnya. Bagaimana tidak, ketika sudah terlibat bisnis MMM ini, para membernya dengan mudahnya mentransfer sejumlah uang melalui mekanisme perbankan tanpa mengetahui siapa yang dikirimi uang, manusia, monyet atau justru dedemit? Mereka mengirim uang yang jumlahnya jutaan rupiah kepada sosok ghaib, dengan alasan lagi bahwa mereka harus menyumbang demi mendapatkan sumbangan kembali. Aneh, mereka menyumbang orang yang semestinya ikhlas, ternyata berharap uang yang didapatkan lebih besar. Iblis pun akan tertawa melihat prilaku arisan seperti ini. Menyumbang satu juta inginnya dapat kiriman lima juta, sedangkan dipihak lain uang yang sudah disetorkan tak juga kembali. Pantas saja para membernya banyak yang demo, protes kenapa uang yang ditransfer berharap benefif tak juga membuahkan hasil.

Maka amat wajar pula bisnis mak jelas ala MMM ini patut dipertanyakan dan patut dihentikan keberadaannya. Karena benar-benar membangkrutkan orang banyak. Mereka menipu dengan mendapatkan sumbangan (terpaksa) dari membernya tanpa embel-embel apapun. Kalau beruntung ya uangnya kembali dengan mendapatkan kiriman dari sesama member, kalau lagi apes, maka uangnya akan raib tanpa bisa minta ganti. Ketika mereka melapor pemerintah pun pemerintah tak bisa menjamin bahwa usaha ini berhak mendapatkan perlindungan secara hukum. Apalagi mendapatkan ganti, mustahil keless.

Bagaimana dengan kasus pembobolan bank? Apakah kondisinya sama saja dengan pembobolan uang nasabah a la bisnis MMM ini? Di satu sisi pihak Bank merasa uang yang mereka kelola akan aman-aman saja, tapi faktanya banyak yang bobol digondol maling. Bank mengelak dan banyak uang nasabah yang tak kembali. Situasi yang kurang lebih sama dengan apa yang dialami oleh member arisan MMM. Mereka dicuri uangnya dengan “sukarela” karena alasannya menyumbang, tapi nasabah Bank, mereka kehilangan uangnya tanpa disadari sebelumnya. Kurang lebih sama modus kehilangannya tapi teknisnya berbeda.

Dan anehnya, meskipun kasus pencurian uang nasabah ini sudah sering terjadi, ternyata OJK pun tidak memberikan warning (peringatan pada pihak bank) bahwa apa yang dialami oleh Bank adalah kelalaian. Sekali lagi alasannya karena murni kesalahan Hacker dan Nasabah yang begitu mudahnya menyerahkan data rahasianya. Kalau sudah demikian, berarti gak ada bedanya antara Bank dengan bisnis yang legal tersebut dengan Arisan MMM kan? Sama-sama berpotensi merugikan nasabahnya.

Nasib memang nasib, nasi sudah menjadi bubur. Menyimpan uang di bank kalau sedikit lama-lama habis karena kepotong administrasi, giliran banyak melayang entah kemana.

Ya sudahlah kita kembalikan pada pemerintah, apakah pemerintah akan mempertegas aturan dan hukum terkait harta nasabah yang hilang tersebut. Akan diganti atau justru pemerintah tinggal diam saja dengan apa yang terjadi. Atau lebih baik menabung saja di kaleng biskuit, ala mbak Fidiawati. hehe (maa)

Literatur:

Ketika Usaha Rias Pengantin Tradsional dilindas Riasan Modern

Hasil gambar untuk riasan pengantin jawa tempo dulu
Contoh prosesi rias pengantin tradisional
Seputar Ekonomi Di tengah pedalaman Kab. Lampung Tengah, berbatasan dengan Kab. Pesawaran, tepatnya di Kampung Sidokerto Bumiratu Nuban, perempuan uzur ini masih gagah dan ulet mengelola usaha rumahannya dalam bidang riasan pengantin. Usaha rintisan semenjak ia merajut tali pernikahan dengan suaminya yang kini sudah almarhum. Dengan bermodal warisan dari ibunya yang kini juga sudah tiada, ia mencoba peruntungan usaha yang sejatinya akan selalu dibutuhkan oleh lingkungannya. Tentu saja usaha riasan akan selalu diburu oleh para orang tua yang hendak menikahkan putra putrinya, dan juga menjadi berburu para calon suami istri. Sebab dengan bantuan ahli rias ini, kecantikan wajah kedua mempelai semakin berkilau. Yang semula sedikit gelap, bisa dipermak menjadi semakin ayu dan menggoda. Tentu menggoda perhatian suaminya dan para tamu undangan yang hadir pada pesta pernikahan tentunya.

Ibu Fatimah, diusianya yang ke-60 tahun, sudah dibilang sudah usia tak lagi muda. Ia sudah puluhan tahun mengelola usaha ini ternyata masih saja memegang teguh konsep adat ketimuran dengan menjaga konsep pernikahan bagi calon mempelai. Dan bersyukur pada saat itu usaha ibu ini sangat digemari pelanggannya lantaran make overnya cukup apik, cara meriasnya juga tak kalah dengan riasan-riasan ahli tata rias yang sudah kondang mengingat kejelian dalam mengatur pewarnaan. Selain itu, karena riasannya yang cukup apik, ternyata ongkos rias dan sewa pakaian pengantin cukup terjangkau menurut kantong orang-orang di sekitarnya.

Motif riasan yang ditawarkan disesuaikan dengan permintaan. Seperti misalnya riasan pengantin ala Jawa, Sunda, Palembang, Lampung dan lain-lain yang tentu harga yang ditawarkan sangat murah.

Karena murahnya harga yang ditawarkan, tak hanya warga di sekitar yang membutuhkan jasanya, mengingat betapa kondangnya nama suami kala itu, pesanan rias pengantin bisa mencapai berkilo-kilo meter perjalanan. Demi memenuhi permintaan pelanggan. Tentu semakin jauh pemesannya dan variasi permintaan si costumer, maka hargapun akan berbeda. Tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak.

Namun demikian, meskipun usaha riasan ini dibilang kelas kampung, ternyata bisa menjadi salah satu icon usaha rias di Kecamatan Bumiratu Nuban dan mampu mengumpulkan pundi-pundi uang demi mencari model-model pakaian terbaru yang disiapkan untuk para calon pengantin.

Itulah harapannya, gak muluk-muluk, dengan usaha yang digelutinya puluhan tahun  itu bisa berkembang dan bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga serta kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Kira-kira harapan sederhananya demikian.

Tapi itu dahulu, ketika riasan tradisional, yang saya sebut dengan riasan kampung masih jaya-jayanya. Ketika dengan sentuhan tangan trampil beliau mampu meraih penghasilan 200 sd. 500 ribuan saja ternyata tak mengurangi omset bulanan kala itu. Hal itu dikarenakan masih sedikitnya usaha rias pengantin. Berbeda sekali dengan saat ini hampir di pelosok kampung rias penganting bertumbuh seperti cendawan di musim hujan. Mereka menawarkan beraneka rupa dan harga serta pelayanan rias yang bersaing. Bahkan saking bersaingnya, adakalanya di antara perias pengantin ini rela merogok kocek yang dalam dengan menyewa pakaian pengantin yang lumayan mahal, demi mendapatkan model terbaru dan disukai masyarakat di era kekinian.

Coba bandingkan dengan usaha rias pengantin saat ini, si perias pengantin biasanya tak hanya memenuhi jasa riasan wajah dan pakaian saja, bahkan sudah menguasai hampir semua kebutuhan pesta perkawinan. Seperti persiapan tarub, barang pecah belah, sewa organ tunggal atau hiburan lainnya, sewa tarub dan panggung, mesin genset, dan pakaian perias tarub yang disediakan oleh si perias tersebut. Bahkan untuk urusan undangan juga di back up oleh satu orang dengan menggandeng kerjasama dengan pengusaha lainnya. Sebuah usaha tata rias yang cukup menyita modal tapi keuntungan maksimal.

Itulah usaha rias pengantin saat ini, mereka berani mengeluarkan modal yang cukup besar demi memenuhi kebutuhan model riasan penganitin saat ini. Tak hanya gaya ala ketimuran (keindonesiaan) karena mereka juga menggunakan motif eropa atau amerika yang dianggap lebih modern.
Hasil gambar untuk riasan pengantin modern
Riasan modern
Kondisi modernisasi usaha rias pengantin ternyata turut memicu melorotnya usaha riasan Bu Fatimah, konsumen yang awalnya menjadi pelanggan tetap dan selalu memesan tatkala keluarganya hendak melangsungkan perkawinan, kini terpaksa diambil pengusaha lain. Ia hanya bisa pasrah dengan keadaan, lantaran usaha untuk mengembangkan usaha rias pengantin yang digelutinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bisa mencapai puluhan juta rupiah, apalagi konsep yang tawarkan bermodel ala kebarat-baratan atau mengadopsi ala Eropa dan Amerika. Tentu biaya yang dibutuhkan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Bahkan saat ini riasan pengantin banyak pula yang mengadobsi model pernikahan Tionghoa yang juga pernak-perniknya yang cukup malah.

Karena ketidak mampuan memenuhi kebutuhan modernisasi riasan pengantin ternyata juga menjadi pemicu bagaimana sulitnya bersaing dengan para pengusaha dengan permodalan yang mencukupi. Ditambah lagi karena usia yang semakin lama semakin bertambah yang juga menjadi pemicu menurunnya kesiapan dirinya dalam memenuhi permintaan. Bukan permintaan menurun, tapi kemampuan memenuhi pesanan itu yang menjadi pemicunya. Hal itu disebabkan karena usia yang tak lagi muda. Selain itu anak-anak yang sedianya bisa menjadi penerus usaha rias pengantin tradisional ini ternyata berbelok arah. Mereka enggan meneruskan usaha orang tuanya. Sudah dapat dipastikan secara perlahan usaha ini akan gulung tikar.

Apalagi saat ini, riasan pengantin daerah yang tengah boomingnya nilai sewanya juga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sebanding dengan harga yang ditawarkan berdasarkan kelas-kelasnya.

Meskipun usaha riasan pengantin ini beresiko bangkrut dan sepi pelanggan, tapi tak ada kata berhenti dan menyerah dengan keadaan. Dan meski di usia tak lagi muda, ia tetap meneruskan usahanya ini di sela-sela usaha warung kecilnya. Dengan semangat gotong royong”membantu” ia tetap memenuhi permintaan calon pengantin baru dengan harga yang tak sesuai dengan nilai rupiah saat ini.

Namun yang pasti, harapan beliau, ia tak melulu hanya mengejar pendapatan dari rias pengantin ini. Akan tetapi tekad yang kuat ingin melestarikan budaya leluhur, budaya tradisional ketimuran ala rias pengantin ini hingga ajal menjemput. (maa)

(maa)