Selasa, 06 Oktober 2015

Beras Raskin, Ketika Kaum Berada Mengaku Miskin


Beberapa waktu lalu, sembari berbincang-bincang dengan salah satu tokoh masyarakat di kampung, terucap sebuah kesan yang cukup menggelitik bagi fikiran dan hati saya terkait beras raskin. Apa itu? ternyata jumlah masyarakat penerima beras raskin selalu bertambah dan tak berkurang selama bertahun-tahun. Sang tokoh inipun bercerita bahwa ternyata penerima beras raskin yang dahulunya memang benar-benar miskin, ternyata ketika saat ini kehidupan mereka sudah mapan, status mereka tetap tidak berubah. Yakni masih saja dilabeli miskin dan menerima beras rangsum dari pemerintah ini.
Tentu saja, kesan yang saya tangkap ini menyiratkan bahwa selama ini pemerintah dalam menggelontorkan dana bagi penerima beras raskin, ternyata sudah salah sasaran. Masyarakat yang dahulunya amat pantas menerima beras bagi kaum tak punya ini sampai saat ini masih saja menjadi pelanggan. Padahal ketika di crossceck mereka yang "mengaku" sebagai kaum miskin sejatinya sudah mengalami perubahan status ekonomi. Meskipun tidak tergolong kaya, tapi kehidupan mereka sudah berubah. Dari yang tadinya berubah bambu, kini rumah mereka sudah berdinding bata dan sudah berkeramik. Adapula di antara mereka yang sudah memiliki kendaraan pribadi bahkan memiliki mobil. Tapi sayang sekali status miskin ini tak juga dikoreksi. Padahal ketika kebutuhan akan bantuan beras rakyat miskin ini tidak dikoreksi, maka sudah dapat dipastikan pengeluaran negara (APBN) bagi pemenuhan permintaan beras tak tepat sasaran. Rakyat yang sejatinya seharusnya tidak "memiskinkan" diri, ternyata masih saja mengaku-ngaku miskin lantaran mendapatkan jatah beras beberapa kilogram ini.
Sebuah kontra diksi dan kontra produktif terkait kebijakan pemerintah yang hendak mengentaskan kemiskinan dan mengurangi beban negara terkait penerima "beras jatah" ini.
Hal ini tentu tidak sejalan dengan pernyataan Menko Kesra bahwa
"Tindak lanjut dari rekomendasi KPK, maka, pemutakhiran Basis Data Terpadu oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) merupakan upaya penajaman sasaran program. Kita menyadari bahwa ketepatan sasaran adalah faktor kunci keberhasilan program penanggulangan kemiskinan. Keyakinan ini memerlukan itikad dan dukungan seluruh pelaksana di pusat dan daerah dari mulai penetapan data sasaran dan pengawasan pada saat penyaluran. Sejalan dengan upaya penajaman sasaran, Pedoman Umum (Pedum) Raskin ini hendaknya menjadi acuan dalam pelaksanaan penyaluran Raskin tahun 2015" (Kata Pengantar Menko Kesra dalam Pedoman Umum Raskin 2015)
Pemerintah sejatinya dan semestinya sudah semakin ringan dengan meningkatnya status sosial masyarakat, ternyata sejauh ini masih saja dibebani dengan pengeluaran yang semestinya diperhitungkan lagi dan harus diarahkan pada hal yang lebih penting dari itu semua. Bolehlah beras raskin tetap diberikan, tapi semestinya data-data penerima jatah pun harus di-update ulang sehingga tidak ada kesan menggunakan uang negara pada hal yang tidak sepatutnya.

Tumpukan beras Raskin yang siap disalurkan (beritadaerah.com)
Ada yang salah dalam hal ini. Dan setelah saya telusuri semakin dalam ternyata ada beberapa point mengapa kebutuhan beras raskin tak juga menurun?
Pertama, selaku pelaksana kebijakan di tingkat daerah, kelurahan selama ini kurang jeli ketika berhadapan dengan data-data kemkinan di daerahnya. Hal ini disebabkan karena ujung tombak data yang sejatinya merupakan hasil evaluasi di tingkat RW dan RT masih saja belum diperbaruhi secara optimal, Dampaknya orang-orang yang beberapa tahun lalu memang dimasukkan dalam kategori miskin, hingga sepuluh tahun kemudian ternyata masih saja dianggap miskin. Padahal kehidupan mereka sudah berubah. Ada yang awalnya berumah geribik, saat ini hampir 90% rumah-rumah mereka berdinding batu bata. Belum lagi kepemilikan kendaraan yang menunjukkan status sosial masyarakat ini pun tidak termasuk dalam skala penilaian, apakah mereka pantas disebut miskin, menengah atau kaya.
Fakta inilah yang menjadi pemicu awal, data-data yang semestinya diperbaiki dan disaring kembali siapa saja yang berhak menerima ternyata masih saja sulit diperoleh data yang valid. Kembali pada lemahnya kontrol masyarakat dan aparat desa dalam melakukan update data.
Kedua, para aparat desa, sampai sejauh ini masih saja mengandalkan rasa tahu sama tahu dan sama rata. Mereka beranggapan bahwa ketika satu keluarga menerima beras raskin, maka sepatutnya semua masyarakat bisa merasakannya. Padahal semestinya hanyalah orang-orang yang miskin dan berhak mendapatkan saja yang masuk ketegori penerima. Kadang tak bisa dipungkiri, ada tekanan publik yang mengharuskan aparat di tingkat desa tak mau ambil pusing, daripada dicecar masyarakat karena dianggap tak adil, mereka lebih memilih menuruti apa mau masyarakat.
Jika kebijakan untuk rakyat miskin ternyata bermodalkan sama rasa, tentu efeknya kurang baik. Masyarakat yang sejatinya sudah harus menolak beras bantuan ini ternyata masih saja merasa berhak menerima. Mereka tak berpikir bahwa ada yang lebih membutuhkan bahan pangan pokok ini dibandingkan dirinya yang sudah mampu.
Tekanan publik yang "haus" akan beras bantuan juga menjadi pemicu kenapa kebijakan beras raskin ini tidak juga tepat sasaran.
Ketiga, BPS selaku basis data pokok terkait data kependudukan dan ekonomi masyarakat juga sampai saat ini masih jauh panggang dari api. Ada ketidak singkronan antara data yang dikeluarkan dengan fakta di lapangan. Sehingga dampaknya alokasi pengeluaran beras yang diajukan kepada pemerintah pun masih memerlukan evaluasi lagi yang lebih menyeluruh.
Jika stake holder terkait kebijakan beras raskin ternyata masih mengeluarkan data-data yang "kurang" valid, semestinya ditinjau ulang dan dilakukan editing agar permintaan kebutuhan akan beras bagi warga kurang mampu ini tidak tepat sasaran.
Karena sejalan dengan tujuan dari beras raskin adalah mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan beras. Sehingga data per tahun 2015 ini sejumlah 5.530.897 RTS benar-benar akurat. Dan tidak ada lagi masyarakat yang tidak layak menerima dengan mudahnya menerima beras ini dengan melupakan hak-hak kaum miskin lainnya.
Dampaknya, jika data pengeluaran 15 kg tiap bulan untuk RTS yang menjadi sasaran beras miskin ini benar-benar valid, maka akan banyak program pemerintah yang bisa dibantu dan mendapatkan alokasi dana yang lebih penting daripada memenuhi kebutuhan masyarakat yang sebenarnya mampu secara finansial tapi tetap saja merasa miskin.
Salam

Senin, 20 April 2015

Ironi Pemblokiran Situs MMM dan Kasus Pembobolan Bank

Kominfo Resmi Blokir Situs MMM Besutan Mavrodi
Situs MMM yang diblokir oleh Kominfo (economy,okezone.com)
Dunia bisnis keuangan sampai saat ini belum juga menuai kepuasan para pelakunya, dus bisnis perbankan yang notabene sebagai usaha yang paling aman menurut OJK, ternyata sampai sejauh ini masih jauh panggan dari api. Para nasabah yang semula menggunakan jasa penyimpanan uang di bank, kini kembali dikejutkan oleh dibobolnya tiga bank yang bernilai milyaran rupiah. Apa kata nasabah melihat fenomena aneh ini? Tentu tak jauh-jauh dari kesan KECEWA, meskipun saya bukanlah seorang nasabah dan bankir, tapi melihat fenomena ini saya pun jadi ketar-ketir ketiak ingin menyimpan uang di bank.

Apa boleh di kata, uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dan di simpan (baca: dititipkan) ternyata harus hangus hilang entah kemana. Apa nggak kecewa tuh para nasabahnya. Tak hanya nasabah yang kecewa, pengusaha perbankan sendiri akan gigit jari. Kenapa keamanan perbankan bisa begini? (ngelus dada)

Meskipun kejahatan perbankan sudah menjadi kejahatan luar biasa, lantaran uang yang seharusnya bisa dimanfaakan pada hal yang berguna bagi pemiliknya, harus hilang secepat kilat tanpa tahu siapa pelakunya. Hacker kembali menjadi kambing hitam, bahwa kejahatan ini semata-mata kejahatan mereka. Padahal secara hak, para nasabah selaku konsumen nasabah, mereka berhak mendapatkan kepastian keamanan uang mereka. Tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Karena mereka sudah membayar biaya (nitip) dengan sejumlah uang perbulan. Belum lagi setiap transaksi via ATM mereka pun harus membayar minimal tiga ribu rupiah.

Apakah perbankan bisa mengelak, bahwa kesalahan ini semata-mata karena kesalahan Hacker?, Atau mencari kambing hitam dengan alasan bahwa pihak nasabah mendownload aplikasi perbankan yang diduga palsu demi ingin mencuri data-data nasabah? Alasan klise yang selalu saja diucapkan oleh para bankir, mereka ingin cuci tangan seolah-olah semua karena “kebodohan” nasabah. Mendownload dan menggunakan aplikasi palsu. Padahal tak semua nasabah memahami mana yang asli dan mana yang palsu.

Yang aneh sekali, meskipun bank-bank kita selalu dibobol maling, nasabah selalu mendapatkan getahnya. Bahasaya bodo nya ialah “uang saya disimpan di bank, ketika ilang kog saya lagi yang disalahin? Kepiyo To?” Boleh saja pihak bank berkilah itu murni kesalahan nasabah, karena bisa dengan mudah menyerahkan data-datanya, tapi bagi seorang konsumen, apalagi masyarakat awam dari kampung, mereka akan terperanjat jika dituduh melakukan kesalahan karena menggunakan aplikasi tak jelas.

Tapi sayang sekali, meskipun pembobolan bank telah terjadi, direktur OJK menyatakan tidak tahu beritanya. Kenapa mereka yang memiliki otoritas terkait keamanan uang nasabah bank kog tiba-tiba merasa tak tahu apa-apa? Apakah ingin cuci tangan juga, lantaran berkali-kali mereka mengatakan bahwa uang yang disimpan di bank akan aman. Dan setiap kehilangan tanpa diketahui akan diganti oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Terus gimana kalau yang punya uang gak bisa ngurus? Ditambah lagi uangnya sudah hilang, dia justru disalahkan.

Pemblokiran Situs MMM dan Ironi Permbankan di Indonesia

Pemerintah menganggap bahwa usaha arisan MMM, atau bahasa medianya Manusia Menyumbang Manusia itu dianggap ilegal, tak sah, tak jelas dan identik merugikan para pengikutnya. Bahkan sikap tegas tersebut dilontarkan karena begitu banyak pengikut arisan MMM ini yang merasa kehilangan uangnya. Akhirnya MMM pun ditutup dan dianggap terlarang. Semua situsnya diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Sudah jelas, bahwa MMM memang berpotensi merugikan pengikutnya. Bagaimana tidak, ketika sudah terlibat bisnis MMM ini, para membernya dengan mudahnya mentransfer sejumlah uang melalui mekanisme perbankan tanpa mengetahui siapa yang dikirimi uang, manusia, monyet atau justru dedemit? Mereka mengirim uang yang jumlahnya jutaan rupiah kepada sosok ghaib, dengan alasan lagi bahwa mereka harus menyumbang demi mendapatkan sumbangan kembali. Aneh, mereka menyumbang orang yang semestinya ikhlas, ternyata berharap uang yang didapatkan lebih besar. Iblis pun akan tertawa melihat prilaku arisan seperti ini. Menyumbang satu juta inginnya dapat kiriman lima juta, sedangkan dipihak lain uang yang sudah disetorkan tak juga kembali. Pantas saja para membernya banyak yang demo, protes kenapa uang yang ditransfer berharap benefif tak juga membuahkan hasil.

Maka amat wajar pula bisnis mak jelas ala MMM ini patut dipertanyakan dan patut dihentikan keberadaannya. Karena benar-benar membangkrutkan orang banyak. Mereka menipu dengan mendapatkan sumbangan (terpaksa) dari membernya tanpa embel-embel apapun. Kalau beruntung ya uangnya kembali dengan mendapatkan kiriman dari sesama member, kalau lagi apes, maka uangnya akan raib tanpa bisa minta ganti. Ketika mereka melapor pemerintah pun pemerintah tak bisa menjamin bahwa usaha ini berhak mendapatkan perlindungan secara hukum. Apalagi mendapatkan ganti, mustahil keless.

Bagaimana dengan kasus pembobolan bank? Apakah kondisinya sama saja dengan pembobolan uang nasabah a la bisnis MMM ini? Di satu sisi pihak Bank merasa uang yang mereka kelola akan aman-aman saja, tapi faktanya banyak yang bobol digondol maling. Bank mengelak dan banyak uang nasabah yang tak kembali. Situasi yang kurang lebih sama dengan apa yang dialami oleh member arisan MMM. Mereka dicuri uangnya dengan “sukarela” karena alasannya menyumbang, tapi nasabah Bank, mereka kehilangan uangnya tanpa disadari sebelumnya. Kurang lebih sama modus kehilangannya tapi teknisnya berbeda.

Dan anehnya, meskipun kasus pencurian uang nasabah ini sudah sering terjadi, ternyata OJK pun tidak memberikan warning (peringatan pada pihak bank) bahwa apa yang dialami oleh Bank adalah kelalaian. Sekali lagi alasannya karena murni kesalahan Hacker dan Nasabah yang begitu mudahnya menyerahkan data rahasianya. Kalau sudah demikian, berarti gak ada bedanya antara Bank dengan bisnis yang legal tersebut dengan Arisan MMM kan? Sama-sama berpotensi merugikan nasabahnya.

Nasib memang nasib, nasi sudah menjadi bubur. Menyimpan uang di bank kalau sedikit lama-lama habis karena kepotong administrasi, giliran banyak melayang entah kemana.

Ya sudahlah kita kembalikan pada pemerintah, apakah pemerintah akan mempertegas aturan dan hukum terkait harta nasabah yang hilang tersebut. Akan diganti atau justru pemerintah tinggal diam saja dengan apa yang terjadi. Atau lebih baik menabung saja di kaleng biskuit, ala mbak Fidiawati. hehe (maa)

Literatur:

Ketika Usaha Rias Pengantin Tradsional dilindas Riasan Modern

Hasil gambar untuk riasan pengantin jawa tempo dulu
Contoh prosesi rias pengantin tradisional
Seputar Ekonomi Di tengah pedalaman Kab. Lampung Tengah, berbatasan dengan Kab. Pesawaran, tepatnya di Kampung Sidokerto Bumiratu Nuban, perempuan uzur ini masih gagah dan ulet mengelola usaha rumahannya dalam bidang riasan pengantin. Usaha rintisan semenjak ia merajut tali pernikahan dengan suaminya yang kini sudah almarhum. Dengan bermodal warisan dari ibunya yang kini juga sudah tiada, ia mencoba peruntungan usaha yang sejatinya akan selalu dibutuhkan oleh lingkungannya. Tentu saja usaha riasan akan selalu diburu oleh para orang tua yang hendak menikahkan putra putrinya, dan juga menjadi berburu para calon suami istri. Sebab dengan bantuan ahli rias ini, kecantikan wajah kedua mempelai semakin berkilau. Yang semula sedikit gelap, bisa dipermak menjadi semakin ayu dan menggoda. Tentu menggoda perhatian suaminya dan para tamu undangan yang hadir pada pesta pernikahan tentunya.

Ibu Fatimah, diusianya yang ke-60 tahun, sudah dibilang sudah usia tak lagi muda. Ia sudah puluhan tahun mengelola usaha ini ternyata masih saja memegang teguh konsep adat ketimuran dengan menjaga konsep pernikahan bagi calon mempelai. Dan bersyukur pada saat itu usaha ibu ini sangat digemari pelanggannya lantaran make overnya cukup apik, cara meriasnya juga tak kalah dengan riasan-riasan ahli tata rias yang sudah kondang mengingat kejelian dalam mengatur pewarnaan. Selain itu, karena riasannya yang cukup apik, ternyata ongkos rias dan sewa pakaian pengantin cukup terjangkau menurut kantong orang-orang di sekitarnya.

Motif riasan yang ditawarkan disesuaikan dengan permintaan. Seperti misalnya riasan pengantin ala Jawa, Sunda, Palembang, Lampung dan lain-lain yang tentu harga yang ditawarkan sangat murah.

Karena murahnya harga yang ditawarkan, tak hanya warga di sekitar yang membutuhkan jasanya, mengingat betapa kondangnya nama suami kala itu, pesanan rias pengantin bisa mencapai berkilo-kilo meter perjalanan. Demi memenuhi permintaan pelanggan. Tentu semakin jauh pemesannya dan variasi permintaan si costumer, maka hargapun akan berbeda. Tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak.

Namun demikian, meskipun usaha riasan ini dibilang kelas kampung, ternyata bisa menjadi salah satu icon usaha rias di Kecamatan Bumiratu Nuban dan mampu mengumpulkan pundi-pundi uang demi mencari model-model pakaian terbaru yang disiapkan untuk para calon pengantin.

Itulah harapannya, gak muluk-muluk, dengan usaha yang digelutinya puluhan tahun  itu bisa berkembang dan bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga serta kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Kira-kira harapan sederhananya demikian.

Tapi itu dahulu, ketika riasan tradisional, yang saya sebut dengan riasan kampung masih jaya-jayanya. Ketika dengan sentuhan tangan trampil beliau mampu meraih penghasilan 200 sd. 500 ribuan saja ternyata tak mengurangi omset bulanan kala itu. Hal itu dikarenakan masih sedikitnya usaha rias pengantin. Berbeda sekali dengan saat ini hampir di pelosok kampung rias penganting bertumbuh seperti cendawan di musim hujan. Mereka menawarkan beraneka rupa dan harga serta pelayanan rias yang bersaing. Bahkan saking bersaingnya, adakalanya di antara perias pengantin ini rela merogok kocek yang dalam dengan menyewa pakaian pengantin yang lumayan mahal, demi mendapatkan model terbaru dan disukai masyarakat di era kekinian.

Coba bandingkan dengan usaha rias pengantin saat ini, si perias pengantin biasanya tak hanya memenuhi jasa riasan wajah dan pakaian saja, bahkan sudah menguasai hampir semua kebutuhan pesta perkawinan. Seperti persiapan tarub, barang pecah belah, sewa organ tunggal atau hiburan lainnya, sewa tarub dan panggung, mesin genset, dan pakaian perias tarub yang disediakan oleh si perias tersebut. Bahkan untuk urusan undangan juga di back up oleh satu orang dengan menggandeng kerjasama dengan pengusaha lainnya. Sebuah usaha tata rias yang cukup menyita modal tapi keuntungan maksimal.

Itulah usaha rias pengantin saat ini, mereka berani mengeluarkan modal yang cukup besar demi memenuhi kebutuhan model riasan penganitin saat ini. Tak hanya gaya ala ketimuran (keindonesiaan) karena mereka juga menggunakan motif eropa atau amerika yang dianggap lebih modern.
Hasil gambar untuk riasan pengantin modern
Riasan modern
Kondisi modernisasi usaha rias pengantin ternyata turut memicu melorotnya usaha riasan Bu Fatimah, konsumen yang awalnya menjadi pelanggan tetap dan selalu memesan tatkala keluarganya hendak melangsungkan perkawinan, kini terpaksa diambil pengusaha lain. Ia hanya bisa pasrah dengan keadaan, lantaran usaha untuk mengembangkan usaha rias pengantin yang digelutinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bisa mencapai puluhan juta rupiah, apalagi konsep yang tawarkan bermodel ala kebarat-baratan atau mengadopsi ala Eropa dan Amerika. Tentu biaya yang dibutuhkan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Bahkan saat ini riasan pengantin banyak pula yang mengadobsi model pernikahan Tionghoa yang juga pernak-perniknya yang cukup malah.

Karena ketidak mampuan memenuhi kebutuhan modernisasi riasan pengantin ternyata juga menjadi pemicu bagaimana sulitnya bersaing dengan para pengusaha dengan permodalan yang mencukupi. Ditambah lagi karena usia yang semakin lama semakin bertambah yang juga menjadi pemicu menurunnya kesiapan dirinya dalam memenuhi permintaan. Bukan permintaan menurun, tapi kemampuan memenuhi pesanan itu yang menjadi pemicunya. Hal itu disebabkan karena usia yang tak lagi muda. Selain itu anak-anak yang sedianya bisa menjadi penerus usaha rias pengantin tradisional ini ternyata berbelok arah. Mereka enggan meneruskan usaha orang tuanya. Sudah dapat dipastikan secara perlahan usaha ini akan gulung tikar.

Apalagi saat ini, riasan pengantin daerah yang tengah boomingnya nilai sewanya juga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sebanding dengan harga yang ditawarkan berdasarkan kelas-kelasnya.

Meskipun usaha riasan pengantin ini beresiko bangkrut dan sepi pelanggan, tapi tak ada kata berhenti dan menyerah dengan keadaan. Dan meski di usia tak lagi muda, ia tetap meneruskan usahanya ini di sela-sela usaha warung kecilnya. Dengan semangat gotong royong”membantu” ia tetap memenuhi permintaan calon pengantin baru dengan harga yang tak sesuai dengan nilai rupiah saat ini.

Namun yang pasti, harapan beliau, ia tak melulu hanya mengejar pendapatan dari rias pengantin ini. Akan tetapi tekad yang kuat ingin melestarikan budaya leluhur, budaya tradisional ketimuran ala rias pengantin ini hingga ajal menjemput. (maa)

(maa)