Rabu, 25 Juni 2014

Apa Program Capres-cawapres 2014 Terkait Tingginya Pengangguran di Indonesia?

14035863941326102360
Ilustrasi : Pencari Kerja




Kebutuhan lapangan pekerjaan masih menjadi persoalan yang terus saja menghantui bangsa Indonesia. Karena melihat tingginya jumlah lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang sampai saat ini jumlahnya mencapai jutaan orang. Jika berdasarkan catatan Bank Dunia, tahun 2020 Indonesia membutuhkan lapangan kerja baru bagi sekitaran 15 Juta orang. Tempo.co

Bahkan menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO) jumlah pengangguran berusia 15-24 tahun 2012 mencapai 75 juta orang. Sedangkan di tahun 2013 ini saja pengangguran yang berusia 19-29 tahun mencapai 4,9 juta orang dari total 7,4 juta penganggur. Kompas.com

Melengkapi data tersebut, BPS Pusat merilis jumlah perkiraan pengangguran sekitar 7,15% penduduk usia 15 tahun ke atas. Sudah dapat dipastikan bahwa usia-usia tersebut adalah usia sekolah. Sehingga dapat dimungkinkan jika jumlah penganggur saat di tahun 2014 saja sebesar 7,15%, menunjukkan bahwa kebutuhan akan tenaga kerja masih cukup tinggi. Meskipun BPS merilis telah terjadi penurunan yang cukup signifikan jika dilihat tahun 2013 sebesar 7,41%

Data tersebut merupakan data perkiraan yang boleh jadi justru jumlah tersebut lebih banyak di sebabkan karena tingkat kesalahan pendataan pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi. Bahkan jika pendataan tersebut mendekati benar, asumsinya di antara para pekerja yang berpenghasilan memadai masih jauh dari rata-rata kebutuhan hidup domestik.

Apalagi menurut BPS sendiri data pekerja yang ada di Indonesia justru didominasi oleh pekerja-pekerja dengan pendidikan usia SD sebesar 55,31% sangat jauh sekali jika melihat tenaga kerja pendidikan tinggi yang hanya sekitar 8,85% jika dihitung dari keseluruhan penduduk usia  15 tahun ke atas yang saat ini sudah bekerja. Yang lebih miris lagi ternyata jumlah pengangguran terbuka justru didominasi penduduk lulusan perguruan tinggi (universitas) sebesar 4,31 % lebih tinggi jika dibandingkan jumlah pengangguran terbuka lulusan SD yang hanya sekitar 3,69%.

Hal tersebut dibuktikan, meskipun pemerintah menganggap jumlah pengangguran mengalami penurunan sebesar 5,7% (detik.finance) akan tetapi untuk jumlah pendapatan perkapita nasional masih sangat rendah. Secara kasat mata saja dapat dibuktikan, saat ini saja aturan upah pekerja (UMP) kurang lebih sebesar Rp 2,441,300 untuk wilayah DKI Jakarta sedangkan untuk Yogyakarta kisaran Rp,910.000. Sumber

Sehingga jika diambil rata-rata upah minimum propinsi seluruh Indonesia hanya sekitar  Rp 1.675.650 Sedangkan tidak semua perusahaan mengikuti aturan pemerintah terkait tingginya upah yang harus dibayarkan kepada pekerja.

Kondisi tersebut, memberikan indikasi bahwa meskipun tingkat pengangguran menurun, tapi pendapatan ekonomi yang layak masih jauh dari kebutuhan pokok masyarakat. Selain itu melihat asumsi tingginya kebutuhan lapangan kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja yang meningkat tajam di tahun 2020 sebesar 15 juta orang maka mau tidak mau pemerintah harus berusaha membuka lapangan kerja baru agar para tenaga kerja baru tersebut dapat terserap dalam dunia kerja.

Namun, apakah pemerintah mampu memenuhi kebutuhan lapangan kerja, jika ternyata tingkat pendidikan sendiri masih jauh dari kebutuhan pasar, terutama pada sektor-sektor pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan yang diikuti. Melihat perusahaan-perusahaan saat ini menuntut para pekerjanya adalah pekerja-pekerja yang tangguh dengan profesionalisme yang tinggi. Dengan kata lain, semakin banyak lulusan SMK ataupun PT akan berbanding lurus terhadap kesiapan memasuki dunia kerja apabila para lulusan tersebut benar-benar siap kerja.

Apalagi saat ini yang mestinya digerakkan adalah lapangan kerja kreatif yang mampu mengangkat kemandirian rakyat. Karena teramat sulit (walaupun bukan tidak mungkin) menampung keseluruhan pengangguran terbuka yang justru pengangguran dengan pendidikan yang masih rendah, sebagaimana paparan di atas.

Bagaimana Visi Capres-cawapres untuk menyelesaikan persoalan pengangguran?

Melihat beberapa kali sesi debat yang dilakukan masing-masing cawapres, memang belum secara spesifik memaparkan program yang benar-benar menyentuh persoalan pengangguran dan membengkaknya jumlah pengangguran jika melihat jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini.
Apalagi paparan yang cukup bisa ditangkap memang masing-masing capres menghendaki rakyatnya sejahtera. Baik dengan menciptakan lapangan pekerjaan atau justru menciptakan pekerja-pekerja kreatif yang sedikit banyak mengurangi beban negara dalam memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan.

Persoalannya adalah seberapa besarkah kemampuan pemerintah menarik inverstor dan pengusaha manufaktur untuk mendirikan perusahaannya di Indonesia? Apalagi jika melihat profesionalisme tenaga kerja di Indonesia masih jauh dari negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Singapura maupun Thailand. Wajar saat ini perusahaan-perusahaan manufaktur banyak yang melakukan produksinya di negara-negara  tersebut. Tentu saja semua berdasarkan tingginya angka tenaga kerja profesional yang layak pakai dan upah kerja yang tergolong murah. Sebagaimana China yang menjadi pusat perusahaan-perusahaan manufaktur baik dari Korea, Jepang maupun Amerika. Khususnya perusahaan perakitan telepon genggam dan kendaraan pribadi maupun pembuatan suku cadangnya.

Sehingga sepatutnya capres-cawapres dalam debat tersebut lebih memproyeksikan pembukaan lapangan kerja baru yang harus menampung jumlah tenaga kerja menganggur . Sebagaimana keterangan Muhaimin Iskandar selaku Menakertrans jumlah pengangguran tahun 2014 ini sebesar 7,24 juta orang. Paling tidak jika penduduk pengangguran sebesar itu membutuhkan 1186 perusahaan manufaktur agar mampu menyerap semua tenaga kerja produktif di Indonesia jika tiap perusahaan mempekerjakan sejumlah 6100 orang seperti halnya jumlah pekerja di PT Unilever Indonesia tahun 2012.

Namun demikian, tak kan mudah mengundang investor dan membangun perusahaan sebanyak itu, apalagi pengalaman kepemimpinan 10 tahun pemerintahan Pak SBY dan pemerintah2 yang telah lalu pun tidak mampu menyelesaikan persoalan tenaga kerja di Indonesia. Ditambah lagi jika para pekerja Indonesia menginginkan pendapatan yang layak. Sedangkan perusahaan masih bersikap protektif terhadap pendapatan mereka.

Melihat fenomena ini, amat kecil kemungkinan pemerintah mampu menyiapkan perusahaan yang mampu menampung jumlah pekerja yang jumlahnya sangat fantastis. Sehingga sejatinya capres dan cawapres terpilih adalah sosok yang benar-benar mampu menumbuhkan masyarakat kreatif dan menjadi fasilitator dan pendukung bagi tumbuhnya industri kreatif serta bagaimana memfasiltasi agar usaha tersebut dapat menghasilkan hasil karya yang bernilai tinggi serta mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun kebutuhan ekspor.

Salam

Jumat, 13 Juni 2014

Printer Canon (Nggak) Bagus, Celotehan dari Pengguna Canon


Saya menjadi sedikit geli dan kadang tertawa-tawa dalam hati, membaca aneka tulisan di Kompasiana yang tujuannya berebut hadiah. Seperti baru-baru ini diselenggarakan oleh pihak manajemen perusahaan printer Canon bekerjasama dengan Kompasiana. Mereka berkompetisi membuat tulisan tentang produk mesin penulis ini.

Semua tulisan dibuat dan diulas sedemikian rupa sehingga pihak manajemen dan tim juri menjadi ngeh dan bangga dengan ulasan yang dibuat oleh para penulisnya. Meskipun kadang-kadang penulisnya tidak sepenuhnya menulis sesuai fakta yang terjadi.

Kenapa saya mengatakan para penulis dalam ajang kompetisi tersebut sering tak jujur? Karena memang apa yang ditulis semata-mata merupakan pesanan dari pihak perusahaan printer agar nama perusahaannya semakin dikenal dan semakin booming. Meskipun masih ada jenis printer lain yang kualitasnya lebih baik tapi karena pencitraan yang dibuat pihak pengiklan (baca : penulis) semuanya terlihat luar biasa tanpa cela.

Saya sendiri memang sudah menggunakan printer Canon sejak saya menjadi mahasiswa. Sehingga mau tidak mau pun saya mengenal dan merasakan karakteristik dari printer yang katanya sempurna tersebut. Tapi ketika saya bandingkan dengan tulisan para teman-teman kompasiana sepertinya ada banyak hal yang disembunyikan. Entahlah, yang pasti karena semua ingin mendapatkan juara menulis meskipun kadang-kadang tak sesuai dengan kenyataannya.

Terus terang, saya seringkali mengeluhkan produk printer merk Canon ini. Di samping harganya yang cukup mahal hampir 500 rb-an untuk printer canon tipe termurah, harga cartridgenya pun setinggi langit. Jadi ketika printernya ngadat, terpaksa harus ganti printer yang baru. Dan harganya pun juga tak murah. Risiko jika membeli cartridge pun harganya hampir sama dengan printernya. Maka ketika printer saya mengalami kerusakan, saya terpaksa membeli printer yang baru karena selisih harga yang sedikit.

Selain printer ini sering ngadat karena persoalan teknis, ketika tinta sudah habispun pihak user harus melakukan pelobangan dengan jarum yang sudah disediakan. Dampaknya ketika cartrigde sudah dilubangi maka kebocoran pada bagian pencetak sering terjadi. Selain kebocoran yang terjadi, cara ini sangat ribet dan cenderung cartridge menjadi cepat rusak. Ketika saya tidak mau repot dengan melubangi satu persatu, lagi-lagi harus ganti yang baru dan harganya mencapai Rp 270.000 di pasaran Lampung bahkan bisa lebih dari itu jika pihak seller sengaja memanfaatkan konsumen awam dengan menjual dengan harga lebih tinggi. Sedangkan harga printernya sekitar 450 rb s.d 500 rb. Harga cartrige setengah harga printer.

Sebenarnya saya lebih suka printer canon tipe lama, di tahun 2000 an, printer canon tidak perlu dilubangi tapi hanya diteteskan karena memang bagian atas dari cartridge sudah mempunyai tempat untuk meneteskan tinta. Daripada menggunakan fasilitas colok atau dilubangi seperti halnya saat ini justru terkesan merusak cartridge. Nah, jika saat ini sudah ada fasilitas infus, kecenderungan yang terjadi tinta sering ngadat (tidak mau naik ke cartridge) dan selalu saja bermasalah.Wajar setiap minggu printer canon yang ada di kantor harus bolak-balik ke reparasi bahkan satu tahun ini saja ada tiga printer yang mengalami kerusakan. Hebat bukan (tepuk jidat)?

Keluhan ini tidak saya saja yang mengalami, karena hampir semua pengguna printer canon juga mengeluh karena printer ini memiliki karakter suara yang cukup berisik, dan sering macet. Jika ingin dialihkan ke moda silent maka proses pencetakannya menjadi sangat lambat.

Sebagaimana keluhan saya di atas, selama kurun waktu dua tahun ini saja, printer saya merk iP 1900 dan iP 2770 Pixma pun ngangkrak dan tak dapat saya gunakan. Persoalannya pada printer pertama karena setiap kehabisan tinta dan cartridge harus dilubangi maka saat itu juga saya jadi kecewa karena kebocoran yang terjadi. Tangan sudah blepotan tinta, kertas pun habis tersia-sia karena melakukan proses pengecekan dan pembersihan lubang pencetakan. Boros sekali.

Beberapa keluhan tersebut saya pun meyakini ada banyak penulis lomba tersebut tidak sejujurnya menuliskan apa adanya. Tapi berusaha mbagus-mbagusin agar memenangkan lomba. Tapi efek dari itu perusahaan canon tidak pernah mengevaluasi produknya bahwa produk yang dihasilkan terlali ringkih dan mudah sekali mengalami kerusakan.

Saya tidak bermaksud menjegal para penulis lomba di Kompasiana, tapi murni keluhan dari user yang sudah setia dengan canon. Semoga saja kedepannya printer ini semakin baik dengan fasilitas cartridge yang tak terlalu mahal dan model pengisian tinta yang semestinya tidak membuat ribet karena harus melubangi karena beresiko kebocoran. Dan jika menggunakan fasilitas infus tentu saja konsumen harus merogoh kocek lebih dalam. Tentu saja persoalan ini akan sangat merugikan konsumen.

Semoga printer canon semakin baik dan layak dicintai.

Salam dari Pengguna Printer Canon